Tuesday 4 December 2012

Tidak Menyesal Karena Gagal

Dipindahkan dari : lindacheang.multiply.com
Posting di Multiply : 1 Februari 2007
Tulisan ini bukan untuk menimbulkan kesan seolah saya adalah orang hebat tetapi justru untuk memberi semacam “self warning” buat saya sendiri bahwa saya ini masih belum ada apa-apanya. Kegagalan yang saya maksud adalah saya gagal jadi tentara dan gagal berkarir di bidang penerbangan.



Pada 1994 - 1998, tiga setengah tahun saya kuliah di akademi penerbangan, melanjutkan ke teknik kejuruan penerbangan setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan penerbangan. Jika di sekolah menegah kejuruan dulu orientasinya adalah manufaktur pesawat terbang, maka di akademi penerbangan orientasinya adalah perawatan pesawat terbang. Studi utama yang saya ambil adalah konstruksi pesawat terbang, tentu meliputi konstruksi rangka dan badan, tetapi mahasiswa yang ambil studi konstruksi juga wajib belajar hal mengenai mesin pesawat terbang, dan sistem-sistem yang bekerja dalam pesawat terbang meski tidak mendetil. Akademi ini secara institusi dikelola oleh suatu yayasan pendidikan di bawah salah satu matra TNI.


Singkat kata, di akademi penerbangan ini status memang mahasiswa, gaya belajarnya memang gaya mahasiswa umumnya yaitu setiap peserta kuliah boleh bebas mencari kursi belajar, bebas bertanya bahkan dianjurkan aktif bertanya serta situasinya dibuat untuk belajar secara mandiri. Antara dosen dan mahasiswa saling berlomba mencari perkembangan terbaru akan ilmu penerbangan, tetapi dalam keseharian, sedikit sisipan pendidikan a la militer diterapkan. Alasannya membina para mahasiswa/i untuk jadi disiplin bukan sekedar baru bisa “diselipin”. Alhasil pada tingkat pertama, setiap pulang kuliah, satu kelas yang adalah satu program studi, terdiri dari sekian puluh mahasiswa, disamakan dengan satu peleton, harus membentuk barisan dipimpin seorang mahasiswa sebagai komandan peleton (danton), dan setiap mahasiswa/i tanpa kecuali mendapat gilirannya menjadi danton memimpin barisan keluar kampus dan membubarkan teman-teman sepeleton alias sekelas di luar pagar kampus. Setiap upacara bendera khusus mahasiswinya ada juga yang kebagian menjadi danup alias komandan upacara. Membentuk barisan setiap kali mau ke Wing Pendidikan untuk praktik pembuatan komponen pesawat terbang dan apel pagi setiap kali mau kerja praktik di lokasi Depo Pemeliharaan Pesawat Terbang, untuk aplikasi ilmu yang didapat selama perkuliahan. Bagusnya, setiap mahasiswa/i dapat sertifikat resmi dari Depo tsb. Saya sendiri mendapat setidaknya lima sertifikat dari Depo tsb untuk lima macam keahlian dalam hal perawatan pesawat terbang yang dipraktikan di Depo tsb. Lumayan! But good enough is still not good. Masih harus ditambah lagi ujian atas keahlian tertentu untuk mendapatkan sertifikat resmi tingkat tertentu dari lembaga khusus keselamatan penerbangan, barulah saya dapat disebut sebagai teknisi penerbangan. Sekarang ini beberapa keahlian itu diaplikasikan ke bidang yang lain dengan beberapa penyesuaian atau bahkan ada keahlian yang tidak terpakai. Sayang memang tetapi apa boleh buat.


Kehidupan semi militer lainnya adalah upacara bendera setiap Senin, ritual penghormatan kepada dosen setiap awal dan akhir kuliah, ritual penghormatan kepada dosen dan para mahasiswa/mahasiswi senior kapanpun selama di sekitar kampus, olah raga senam massal seluruh mahasiswa dan beberapa dosen setiap Rabu pagi, di dalam formasi barisan peleton per program studi, lari keliling kampus (kampus akademi sendiri ditambah kampus wing pendidikan, loh, bukan sekedar lari keliiling lapangan bola doang!) plus senam SKJ setiap Sabtu pagi. Tentu saja kesehariannya sebagai mahasiswa akademi harus pakai seragam lengkap, ada seragam harian, ada seragam lapangan, seragam untuk upacara penting, pakaian olah raga, dan ada pakaian khusus untuk kerja praktik. Perihal seragam ini, karena seragam harian warnanya putih untuk atasan dan biru tua untuk bawahan, pengalaman unik di suatu hari saat saya numpang salah satu pesawat terbang TNI dan sedang transit di Yogyakarta, saya sempat disangka sebagai seorang tentara wanita dari salah satu matra angkatan bersenjata salah satu negara tetangga. Hahahahaha. Ada-ada saja.


Lalu, apa hubungannya dengan ketentaraan? Pada saat Opspek, suasananya seperti di tangsi militer karena seluruh mahasiswa/i harus pakai pakaian a la tentara hanya seragamnya tidak berloreng, lengkap dengan kewajiban membawa ransel yang diisi barang untuk pemberat. Pada kenaikan akademis dari tingkat ke tingkat 2, seluruh mahasiswa yang layak naik ke tingkat 2 diwajibkan mengikuti pendidikan Latihan Dasar Bela Negara, dengan seragam hijau lagi tetapi semua mahasiswa dibawa ke Depo Pendidikan Dasar Militer TNI di daerah Lembang, dan kali ini selain isi ransel diperberat dengan kewajiban membawa beberapa rantang pasir di bagian bawah ransel, juga setiap mahasiswa/i diwajibkan pegang senjata senapan laras panjang yang beratnya mencapai 3.8 Kg. Dengan perlengkapan lengkap layaknya prajurit hendak perang, harus mendaki gunung-gunung di kawasan Subang dan Ciater pada hari panas terik dan hujan lebat, dan tidak lupa, giliran jaga malam di barak, stelling dan yang satu bagian yang seru : jungle survival! Tentu barak tempat tinggal mahasiswa dipisahkan dengan arak mahasiswi, tetapi soal materi dasar militer yang diberikan tidak dibedakan mahasiswa dengan mahasiswi bahkan dalam hal memimpin peleton sekalipun. Tentu juga banyak pengalaman lucu dan menarik selama mengikuti latihan dasar tsb.


Selesai menuntaskan LDBN, setiap mahasiswa mendapatkan sertifikat tanda bahwa mahasiswa ybs sudah selesai menempuh pendidikan dasar bela negara. Wuah. 15 hari yang awalnya menyebalkan, menjengkelkan saat menjalaninya, tetapi setelah bertahun kemudian ada beberapa cerita selama pendidikan LDBN yang bisa jadi bahan untuk tertawa bersama teman-teman sealmamater, mengingat betapa dulu para mahasiswa merasa seperti tidak bisa apa-apa, namun semangat pendidikan militernya membuat para mahasiswa yang pernah merasakannya merasa bahwa punya nilai lebih daripada mahasiswa umumnya. Lebih pede dan berani! Tapi ada juga yang saking beraninya dan pedenya suka bertindak kelewatan. Yah, itu sisi negatif pasti ada meski tidak banyak.


Nah, pasal apa yang membuat para mahasiswa/i akademi ini bisa menjadi tentara? Jalur Perwira Prajurit Karir dalam TNI memungkinkan mahasiswa dari institusi pendidikan tinggi manapun termasuk akademi penerbangan mendapatkan bea siswa untuk menjadi Perwira Prajurit Karir dengan nantinya selesai menempuh pendidikan akademis ditambah sembilan bulan lagi selesaikan pendidikan militer akan dilantik menjadi prajurit perwira pertama dengan pangkat Letnan Dua. Akademi penerbangan ini termasuk yang diberi prioritas untuk ikut seleksi dan termasuk institusi pendidikan tinggi yang paling banyak menjadi sumber para perwira prajurit karir. Saya termasuk yang direkomendasikan oleh bapak direktur akademi dan seorang bapak pembantu direktur akademi, keduanya berpangkat Kolonel Teknik dan waktu itu masih aktif dinas, untuk mendaftar guna mengikuti seleksi bea siswa tsb karena baik dari segi nilai akademik dan fisik sudah memenuhi syarat. Bapak pudir bahkan sudah memberikan deskripsi, jika saya sudah selesaikan pendidikan militernya, setelah pelantikan nantinya saya akan bertugas menjadi perwira teknik di salah satu markas komando perawatan pesawat terbang, yang merupakan pusat komando untuk perawatan pesawat terbang di seluruh Nusantara. Beliau begitu semangat memberi dukungan pada saya untuk menjadi perwira wanita bidang teknik perawatan pesawat terbang karena kuantitasnya amat jarang.



Apa daya, karena suatu hal, menyebabkan saya dinyatakan tidak lulus seleksi. Waktu itu seleksi masih dipusatkan di salah satu matra TNI sehingga matra TNI yang sedianya akan jadi tempat nantinya saya berdinas tidak dapat melakukan apa-apa. Saya tidak kecewa karena saya sudah menduganya saat tes wawancara berlangsung. Tetapi bapak direktur kecewa, bapak pudir kecewa bahkan Papa saya yang tadinya bangga karena berpikir akan ada seorang anaknya meneruskan jejaknya berkarir di militer, sampai sempat sewot, dan menawarkan bagaimana kalau Papa menghadap panglima komando daerah militer setempat waktu itu yang kata Papa adalah siswa didiknya di salah satu sekolah staf komando. Saya minta Papa untuk tidak perlu bertindak sejauh itu, karena saya sendiri sebetulnya tidak terlalu menginginkan menjadi bagian dari angkatan bersenjata. Si bapak pudir akhirnya mendapatkan juga seorang bawahan perwira teknik wanita setelah seorang rekan wanita senior sealmamater berhasil tembus seleksi bea siswa prajurit karir tsb dan akhirnya dia yang bertugas di markas komando tersebut. Selamat untuknya.


Adakah saya menyesal karena tidak jadi tentara? Jawaban saya : sama sekali tidak! Bahkan saya amat bersyukur justru karena tidak jadi tentara. Memang terbukti bukanlah jalan hidup saya di situ. Namun walau sudah sekian tahun berlalu, sampai saat inipun Papa masih tidak dapat sembunyikan kekecewaannya atas kegagalan saya menjadi perwira. Sejujurnya, saya menerima dengan ikhlas atas kegagalan saya itu. Saya tidak punya maksud secara halus menyatakan bahwa berarti menjadi tentara adalah pilihan yang tidak baik. Tetapi memang nyatanya takdir saya bukan di situ. Saya amat SALUT dan HORMAT kepada rekan - rekan mahasiswa/i sealmamater dulu baik rekan senior, rekan seangkatan atau adik junior yang berhasil mendapatkan bea siswa menjadi perwira prajurit karir, karena perjuangannya sangat tidak mudah. Hormat saya juga kepada semua prajurit yang berdedikasi kepada tugasnya. Sekiranya ada rekan-rekan sealmamater akademi penerbangan yang sudah jadi perwira, dan kebetulan membaca tulisan ini, salam hormat saya pada Anda semua mengingat perjuangannya yang amat sukar. Beberapa rekan sealmamater saya sudah ada yang mencapai pangkat Kapten. Hebat! Tetapi pada Papa, maafkan saya, ya, Pa, walau saya merasa senang tidak jadi perwira prajurit, saya telah mengecewakan Papa. Yah, saya, kan, tidak dapat selalu membuat semua orang senang.


Saya memang gagal berkarir di penerbangan baik penerbangan sipil karena krisis moneter maupun militer karena gagal lolos seleksi, tetapi semua kegagalan itu bukan alasan untuk menyesal. Kegagalan saya itu menjadi suatu peringatan buat saya bahwa tidak selamanya jalan hidup itu berlangsung mulus sesuai kehendak saya. Pekerjaan saya yang sekarang memang tidak nyambung dengan teknik penerbangan tetapi ini adalah pekerjaan yang baik walau sering dipandang kurang bergengsi. Bagaimanapun pendidikan kejuruan penerbangan sudah memberi andil pada saya untuk membuka pola pikir seluas-luasnya dan juga membantu proses pendewasaan cara berpikir saya. Tentu saya sadar bahwa saya ini masih belum ada apa-apanya, masih harus banyak-banyak belajar. Walau sudah tidak di penerbangan lagi, tidak berarti ilmu yang didapat selama belajar teknik penerbangan tidak dapat diaplikasikan ke bidang lain. Malah senang rasanya ketika aplikasi ilmu tsb justru boleh memberikan sumbangsih yang berguna bagi orang lain. Jadi, gagal bukan berarti habislah sudah tetapi salah satu proses untuk pendewasaan diri.

Salam.

No comments:

Post a Comment