Saturday 1 December 2012

Sekali Jalan-jalan tetap Makan-Makan! Jalan-jalan (Bagian 1 sub bagian 1)

 Dipindahkan dari lindacheang.multiply.com

Diposting di MP : 20 September 2006


Jalan-jalan dan makan-makan adalah salah satu dari sekian hobi favorit saya (nomer satu : membaca, , nomer dua : menulis, makanya suka kirim tulisan ke blog) dan saya juga penggemar kolom Jalan Sutra-nya Pak Bondan Winarno, rubrik ini selalu jadi referensi saya untuk berburu makanan enak. Hehehe. Juga rubrik Parodi-nya Bung Samuel Mulia. Saya kutip motto Jalan Sutranya Pak Bondan sebagai judul tulisan saya kali ini, ga pa pa, toh? Saya tambahkan setelah bagian makan-makan yaitu masakan dan masak-memasak.


Bagian 1 : Jalan-jalan sub bagian 1 : Hobi jalan-jalan.

Soal jalan-jalan, buat saya memang enggak akan pernah ada matinya! Hobi ini bermula ketika semasa saya kanak-kanak, Papa mengajak saya ikut dia saat bekerja ke luar kota. Papa membawa saya ikut mobilnya ke Jakarta, ke Purwakarta dan Cikampek. Tahun 1980-an belum ada tol Cipularang, yah. Tol yang paling hebat waktu itu menurut saya adalah jalan tol Citarum dan Jagorawi. Sekarang pintu tol Citarum sudah tidak ada. Jakarta sewaktu itu juga belum ada tol dalam kota apalagi jalan layang. Bandaranya masih di Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, belum Soekarno-Hatta. Semasa remaja, Papa suka mengajak saya merambah ke arah timur Jawa Barat, yaitu kami pergi ikut Papa bekerja mengantarkan pesanan pelanggan ke Cirebon, Kuningan, Banjar, Ciamis sampai ke Jawa Tengah, ke Semarang via Pekalongan dan berlibur bertiga bersama adik lelaki saya satu-satunya ke Yogyakarta bermobil dari Bandung via Majenang. Yogya dulu belum seramai sekarang dan kotanya amat indah sebelum diluluhlantakkan gempa 27 Mei lalu, hiks..hiks.. Di Ciamis saya terkenang akan air nira aren ( B Indonesia : pohon enau) di sana disebutnya : lahang, yang kental, manis dan segar, sayang sekarang sudah sangat jarang, kalaupun ada, umumnya sudah diencerkan. Dengan mobil kami sekeluarga pernah sengaja menyusuri perjalanan dari Bandung ke Pamekasan, Madura , dengan mobil waktu itu Mitsubishi Jet Star (sekarang Jet Star sudah out, tidak diproduksi lagi) diisi penuh 7 penumpang dan penuh barang bawaan, Jet Star kami sukses dibawa merayap di tanjakan dan turunan Cemoro Sewu (salah satu ruas jalan dari Solo ke Sarangan, Jawa Timur) yang terkenal curam. Karena sukses melewati Cemoro Sewu dengan kondisi full loaded, mobil Jet Star kami sampai dibeli seorang pelanggan Papa dengan harga tinggi. Ini mungkin salah satu efek positifnya hobi jalan-jalan!

Sejak jalan-jalan menjadi hobi, saya suka sekali bepergian mulai masih bersama orang tua, ke tempat paling barat di Indonesia adalah Medan (waktu itu 1987 naik kapal laut KM Rinjani dan pulang ke Jakarta pakai penerbangan Mandala Airlines, pesawatnya masih Vicker Viscount propeller engine buatan Belanda) dan paling timur adalah Pamekasan, Madura. Sampai tiba saatnya saya mantap untuk bepergian sendirian. Biarpun saya ini perempuan , saya tidak pernah takut pergi ke mana-mana sendirian, mungkin karena sifat saya ini soliter, ya. Pertama kali pergi sendiri saat saya turun dari mobil keluarga di Ungaran untuk naik bus antar kota menuju Semarang, sementara keluarga saya pakai mobil menuju Surabaya. Sampai di Terminal Terboyo Semarang, saya pakai bus kota ke Semarang menuju rumah teman saya di kawasan Sampangan. Teman saya, seorang lelaki Jawa, sampai terkaget-kaget menerima kedatangan saya di rumahnya karena saya memang sengaja tidak memberitahu dulu untuk memberi dia kejutan. Itu pertemuan pertama “ off air” dengan teman pena saya. Si teman ini sampai bertanya dengan herannya bagamana bisa saya seorang cewek sendirian saja dari Ungaran tiba di rumahnya yang nota bene termasuk susah di cari. Yah, terima kasih kepada para penduduk Semarang yang ramah saat saya bertanya. Singkat kata, dua hari di Semarang, cukup membuat saya tahu tentang apa saja yang khas dari kota itu. Hanya sayang keinginan saya ke Semarang dan Surabaya dengan bermobil dari Bandung bergantian nyetir dengan seorang kolega kantor belum kesampaian, sampai sekarang.

Suksesnya saat pertama kali saya bepergian jauh sendirian membuat saya merasa lebih nyaman untuk pergi berlibur ke tempat-tempat lain sendiri saja, tetapi saya selalu berusaha kontak teman-teman yang berdomisili di kota tempat tujuan saya. Saya sudah bepergian sendiri ke Surabaya, sampai dua kali, lalu ke Semarang lagi, kali ini pulangnya tidak lupa oleh teman-teman saya dibawakan oleh-oleh khas Semarang banyak sekali, sampai saya harus sewa porter di Stasiun Tawang untuk mengangkutkan barang bawaan ke kereta menuju ke Bandung, kereta eksekutif Harina. Lumpia Semarang dua kotak, Bandeng Juwana yang divakum bawa 4 Kg. Berat, euy! Di Semarang tentu saya enggak pernah lupa menyantap salah satu khas Semarang : Mie Titee (maaf kepada rekan-rekan yang Muslim, mie ini non halal) di Jalan Wotgandul Barat no 25C, sampai teman-teman saya yang memang asal Semarang terheran-heran kenapa saya bisa tahu persis tempatnya sementara orang Semarang sendiri ada beberapa orang yang tidak tahu. Penjualnya sekarang adalah anak laki-laki dari pemilik kedai Mie Titee, seorang encek (paman) semasa kedainya masih di Gang Lombok. Enceknya sudah meninggal dunia.

Di Surabaya, saya suka sengaja mencari Bak Pau Chik Yen (non halal juga), tetapi saya juga bisa menikmati nasi rawon, lontong kupang dan masalah khas Jawa Timuran lainnya. Pergi ke mana-mana, cukup naik bus kota dan angkutan umum. Paling aman ke Tunjungan Plaza saja sebagai point of start for going everywhere. Dengan memakai angkutan umum bisa membantu saya menghafal cara dan tempat-tempat yang ingin saya tuju bila suatu saat saya kembali lagi. Begitu juga saat akhirnya untuk pertama kali saya pergi keliling Jakarta sendirian. Sekarang hampir tiap dua bulan sekali saya ke Jakarta dan saya merasa nyaman-nyaman saja menggunakan bus way dan taksi.

Ke Surabaya sudah lama tidak saya jadwalkan lagi, mungkin sudah tujuh tahun lewat sejak terakhir saya ke sana tahun 1999. Saya mencapai Surabaya waktu itu via Malang karena nebeng penerbangannya Hercules TNI-AU yang terbang dari Halim Perdanakusuma ke Malang. Well, jarang sekali dan susah untuk mendapatkan izin bisa numpang pesawatnya milik ABRI (Sekarang TNI). Waktu itu karena saya masih kuliah di akademi penerbangan yang dikelola oleh sebuha Yayasan di bawah TNI-AU, maka saya bisa mendapatkan surat jalan resmi dari instansi akademi tempat kuliah saya dan tentu saya harus gunakan seragam kuliah supaya bisa naik ke pesawat Hercules atau kalo lagi beruntung Fokker 28. Sayang enggak banyak kenangan di Malang selain pertama, Malang seperti Bandung, sejuk, kemudian saya bertemu dengan seorang sahabat pena lagi di sana, seorang mahasiswa asal Makassar, dan demi menghemat biaya, saya numpang tinggal di sebuah Mess milik TNI-AU di kota Malang.

Sejarah penting buat saya pribadi adalah saat saya pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya. Sendiri, tanpa ditemani keluarga, tanpa teman. Tujuan pertama saya negara yang terdekat : Singapura. Tapi berangkat dari Bandara Husein Sastranegara Bandung. Pertama kalinya saya mengurus sendiri check in penerbangan, bayar airport tax, bayar fiskal, harus isi kartu embarkasi dan debarkasi sebelum melewati imigrasi. Kalau naik pesawat terbangnya, sih, saya sudah biasa. Biasanya saya suka banget pilih seat di emergency exit door karena space untuk kakinya lebar. Bisa selonjoran, tuh.

Tiba di Changi International Airport, Singapura, pengalaman pertama melewati imigrasi Singapura sukses dan cepat, karena saya sempatkan isi dulu kartu embarkasi-debarkasi Singapura. Ada beberapa penumpang di depan saya yang harus antri lagi karena belum isi kartu tsb. Kesan saya tiba di Changi : rapi, teratur, nyaman dan sejuk. Kemudian saya dijemput seorang kolega Singapura dan merasakan sendiri kalau Singapura itu.. panas! Kolega membawa saya ke kantor perwakilan perusahaan di Jalan Serangoon, untuk kemudian makan siang bersama. Usai makan siang, saya diantarkan ke apartemen di gedung pertokoan People’s Park, Kawasan Chinatown. Yah, saya harus cari sendiri yang mana kamarnya, dan ketemu juga. Sewa kamar saya waktu itu low season rate SGD 45 dengan kamar mandi di dalam. Cukup nyaman untuk saya karena ada televisi juga ada AC. Kalo enggak ada breakfast, gampang saja, tinggal turun ke lantai dasar gedung, ada banyak penjual makanan disitu, dan ada salah satu makanan favorit saya : bak pau Teck Kee dan salah satu minuman favorit saya : susu kedelai.

Selama di Singapura untuk pertama kalinya tsb, saya hanya sempat jalan-jalan ke Orchard bersama rekan sekerja dari gereja di Bandung, untuk cari makan malam dan duren lelangan seharga SGD 1 perbungkus, karena esok siangnya saya terbang ke Kuala Lumpur. Saya belajar cara menggunakan kereta MRT, tapi bloonnya saya waktu itu, saya hanya beli tiket tiap single trip, maklum belum tau ada kartu EZ-link yang bisa buat kereta dan bus. Wah, jujur saya sempat membayangkan andai sistem transportasi di kota-kota besar Indonesia bisa seefisien Singapura, alangkah nyamannya para pekerja berangkat ke kantor dengan biaya irit dan kendaraan yang bersih, sejuk. Mimpi kali yeee…

Ke Kuala Lumpur, saya sengaja bepergian dengan beli tiket penerbangan supaya cepat sampai karena saya harus bertemu dengan dua orang kolega lagi dari perwakilan di KL. Point of meeting kami di KL Sentral. Dari Kuala Lumpur International Airport, saya pakai kereta KL express menuju KL Sentral, sekitar satu jam perjalanan. Sayang waktu itu saya kurang gunakan kesempatan dengan baik untuk ngubek-ngubek KL Sentral. Saya cuma duduk di Starbucks jadinya saya agak tidak mengenal KL Sentral dengan baik. KL bagi saya juga terasa panas, tetapi situasi kotanya jauh lebih teratur daripada Bandung, kota asal saya sendiri. Di KL saya tinggal di kamar yang disediakan oleh kantor perwakilan Malaysia, tepatnya messnya di belakang kantor.

Saya belajar pergi sendiri ke Petronas Twin Tower dan ke kawasan Chinatown dengan LRT dan ternyata nyaman juga meski menurut saya MRT Singapura jauh lebih baik. Ya, karena saya memang tidak berniat tinggal lama di KL maka setelah dua hari saya kembali lagi ke Singapura kali ini saya mencoba pakai bus, disebut coach , total enam jam perjalanan. Busnya dua tingkat, nyaman ber-AC dan hanya berhenti di Johor selama 30 menit untuk memberi kesempatan penumpang meluruskan kakinya sambil lihat-lihat kalau-kalau ada yang bisa dibeli. Selesai dari perhentian, menuju pos imigrasi Tanjung Kupang, kemudian menyeberangi Selat Singapura dan di Imigrasi Singapura, semua penumpang tanpa kecuali wajib membawa barang-barang bawaannya untuk diperiksa. Baiklah, saya bawa saja semua untung tidak banyak beli barang, dan selesai lewati Imigrasi Singapura, perjalanan dilanjutkan hingga kami semua penumpang turun di depan sebuah hotel. Nah, saya belajar naik bus lagi ke stasiun MRT terdekat. Saya hanya perlu mempelajari peta dan petunjuk untuk mencari semua tempat tujuan saya. Tinggal semalam lagi di Singapura dan esoknya saya pulang langsung ke Bandung bawa oleh-oleh yang sengaja saya beli sedikit supaya tidak overweight saat bawa koper pulang kampung.

Saya baru bisa benar – benar menikmati beberapa tempat wisata di Singapura dan Malaysia setelah sengaja menghabiskan waktu seminggu lamanya. Ke Singapura pada sehari setelah Natal 2005 dan pulang via Jakarta sehari setelah Tahun Baru 2006. Berbekal peta lengkap Singapura, saya menikmati betul jalan-jalan di sepanjang Orchard Road, ke Singapore Expo, ke Woodlands, Tampines, tujuannya bertemu teman-teman, bertemu kolega dari USA yang sedang berlibur bersama keluarganya di Singapura dan tentu saja : cari makan. Ke mana-mana cukup pakai MRT dan bus. Nyaman koq. Pergi ke Malaysia untuk menengok Engkim (pernah diceritakan pada tulisan sebelumnya), saya harus belajar lagi naik bus menuju Woodlands, melewati imigrasi Singapura, kemudian melewati imigrasi Malaysia dan dari sana harus cari sendiri cara ke Terminal Bus Larkin di Johor. Untung seorang teman Malaysian local teman chat, bersedia menolong mengantarkan saya dari Terminal Larkin Johor sampai saya tiba di Pontian, sebuah kota kecil kota industri. Saya diantar pakai mobil BMW, dehh, wah, saya merasa beruntung. Teman saya ini bukan sekedar mengantarkan sampai kota Pontian tetapi sampai cari rumah tempat Engkim saya tinggal. Thanks, Friend, if you read this writing

Singapura menurut saya, tempat-tempat wisatanya masih kalah bagus dari Indonesia. Tetapi penataannya sangat baik, dan kalau tempat makannya asal kita tahu di mana saja yang menyediakan masakan enak, wah, rasanya nendang. Memang rata-rata buat lidah saya, rasa masakan Singapura itu hambar, sehingga sewaktu pasangan saya (waktu itu statusnya masih kenalan) traktir saya makan di sebuah resto, pasangan saya terheran-heran melihat saya memerlukan tambahan bumbu lagi, macam kecap asin dan merica. Satu keinginan yang belum kesampaian, makan sushi di resto Sushi Tei di tempat asalnya, Holland Village.

1 comment: