Saturday 1 December 2012

Makanan dan Memasak

 Dipindahkan dari : lindacheang.multiply.com
Posting di Multiply : 29 September 2006

Bicara soal makan-makan, pasti kaitannya ke masakan dan masak-memasak. Tentu saya juga bisa memasak meski baru bisa memasak sebatas beberapa masakan. Saya “terpaksa” bisa memasak saat menjadi anak kos di Jakarta selama sebulan untuk mengikuti on job training semasa saya masih seorang siswi STM Penerbangan, sejak saat itu saya jadi bisa memasak. Kalau memasak masakan China, wajib pakai bawang putih yang sudah dimemarkan, seperti capcay goreng, nasi goreng, cumi goreng mentega, sesekali buat nasi tim boleh juga dan rasanya, membuat dua keponakan tertua saya hingga sekarang masih suka minta saya sempatkan waktu untuk dibuatkan masakan untuk mereka saja, dan harus olahan tangan saya, daripada masakan hasil karya ibu mereka sendiri, yaitu kakak perempuan tertua saya. 
Kakak saya kalau masak rasanya lebih ke rasa masakan Sunda sebab si kakak lebih suka pakai daun salam, daun dan batang serai serta beberapa ruas laja. Kalau masakan yang manis seperti pudding, kepada teman-teman saya di kantor yang suka menawarkan puddingnya, dengan terpaksa saya mengatakan terus terang kalau kelezatan pudding dan saus pudding buatan mereka masih belum bisa menandingi pudding buatan saya. Saya bukan bermaksud sombong tetapi memang ada rahasianya membuat pudding dan sausnya yang walaupun bentuknya sederhana tetapi rasanya setelah cair di mulut, jadi luar biasa. Rahasianya di bahan-bahan yang tentu harus berkualitas baik. Tetapi waktu memasak juga berpengaruh pada rasa. Saya kutip ucapannya Pak Bondan soal crab beehoon, memasak juga ada seninya, jadi hanya koki yang tahu cara memasak dengan “art” yang akan menghasilkan rasa masakan yang luar biasa. “Art of cooking” di sini meliputi pengaturan besar kecilnya api saat memasak, kuantitas bumbu, air, de el el.

Kalau ada kesempatan memasak, selain hanya gunakan bumbu kualitas baik, hati saya selalu fokus untuk memasak tetapi saya tidak pernah menakar secara persis bumbu-bumbu yang saya gunakan. Saya mengikuti caranya dua orang chef keturunan Tionghoa, dulu di awal tahun 1990-an di salah satu televisi swasta ada acara Wok With Yan dan Yan Can Cook. Dalam acara tsb kedua chef yang sama-sama bermarga Yan itu, tidak pernah membuat takaran persis untuk setiap bumbunya. Ambil bumbunya juga dengan sumpit. So, kalau ada teman yang terkenang masakan saya dan meminta dituliskan resepnya, saya jadi bingung menentukan takaran bumbunya. Saya tidak keberatan membuatkan langsung masakan kreasi saya sendiri untuk teman-teman saya, dan tidak masalah buat saya menyebutkan bumbu apa saja dalam sebuah masakan, serta kadar kelezatan masakannya kalau pas saya sedang icip-icip atau sedang menyantap masakan di resto, tetapi kalau diminta harus tulis resep masakan apa-apa saja hasil kreasi saya, wah, nyerah, dehh. Saya mesti memerlukan pertolongan seorang ahli boga untuk menyusun takaran bumbunya. Menuliskan resep pudding buatan saya dan sausnya, wah, harus mikir dulu berapa tepatnya takaran gula pasirnya, sebab saya enggak pernah menimbang takaran gulanya, belum lagi untuk sausnya, entah berapa tepatnya takaran rhum yang saya tuangkan pada adonannya. Yang penting, pas disantap, rasanya enak dan bikin ketagihan.

Soal jenis masakan, saya senang menyantap hampir setiap jenis masakan seperti masakan Kanton (nomor satu dalam daftar masakan kesukaaan saya), masakan Sunda, masakan Jawa, masakan Padang (paling suka gulai kepala ikan kakap), masakan Riau (khusus gulai patin), masakan a la Babah dan Nyonya (campuran kuliner Melayu dan Tionghoa atau Eropa dengan Tionghoa dan Nusantara), masakan Jepang (khusus hanya sushi dan beberapa menu dari ikan), masakan Korea boleh juga, masakan a la Eropa enggak masalah, tetapi saya tidak suka masakan Thailand yang pedas terutama Tom Yam Kung, masakan ala Penang yang buat saya, racikan bumbunya aneh di lidah saya, mungkin belum terbiasa saja (ini gara-gara makan char kuay tiaw di Singapura), kurang begitu suka masakan India karena terlalu banyak santan dan masakan Makassar khususnya sop konro dan coto.

Saya suka memasak masakan Kanton yang sederhana macam cumi saus mentega atau sekedar nasi goreng tetapi saya menyerah, dehh, kalau diminta harus membuat masakan Padang, apalagi kalau harus buat kuah santannya dari santan yang sudah jadi dalam kemasan tetra pack, sebab kualitas kelezatannya akan beda dibandingkan bila membuat santan dengan peras sendiri dari parutan kelapa. Kalau sudah begini, daripada saya cape-cape buat bumbu santan peras sendiri lebih baik tinggal santap saja kepala kakap atau sotong kesukaan saya di kedai favorit saya di Bandung, Kedai Tuah Bundo, lokasinya di sekitar Bandara Husein Sastranegara, Bandung persis di sebelah Wing Pendidikan Teknik dan Manajemen Pembekalan TNI-AU.

Sayang sekali beberapa tahun terakhir ini saya kehilangan kesempatan untuk memasak karena kesibukan saya bekerja. Saya hanya bisa memiliki kesempatan memasak kalau pas libur panjang dan kalau sedang tidak ke luar kota atau luar negeri. Saya memasak pada hari libur supaya ilmu masak-memasak saya tidak hilang begitu saja.

No comments:

Post a Comment