Saturday 1 December 2012

Bagian 2 : Makan-makan

Dipindahkan dari : lindacheang.multiply.com
Posting di Multiply : 28 September 2012
 


Sebelumnya saya minta maaf dulu untuk teman-teman yang Muslim karena di bagian ini saya akan ada menceritakan makanan-makanan yang non halal.

Gara-gara hobi yang satu ini, selain sekarang saya jadi tempat bertanya para tamu atau teman-teman dari luar negeri atau teman dari luar kota, saya sempat dijuluki sebagai “drop tank”, pasalnya dengan tinggi badan hanya 158 cm berat badan pernah mencapai 62 Kg. Pada waktu itu, saya melahap makan apa saja yang memang layak santap, sehari tiga kali makan nasi bisa sampai dua piring penuh sekali makan. Sekarang, makan nasi cukup sekali saja sehari, banyak makan buah-buahan dan sayuran, ditambah olah raga rutin akhirnya sekarang berat badan sudah lumayan stabil di 52 Kg, dengan bentuk tubuh yang sudah lebih berbentuk daripada dulu yang “drop tank”. Tetapi walau tubuh sudah langsing, hobi makan dan berburu makan enak enggak bisa berhenti. Terminologi makan-makan saya di sini artinya menyantap makanan berat macam makan nasi atau makan daging. Lidah ini rasanya enggak bisa tahan kalau ada makanan enak. Tak masalah makanan tsb mau dari kedai sederhana di pinggir jalan yang ramai ataupun resto mewah, dalam dan atau luar negeri, pokoknya kalo dengar ada makanan enak, pasti saya hunting!! Sekarang, mah, no worries mau makan sebanyak apapun juga, badan saya kalau melar paling banter cuma sampai berat 54 Kg.

Beberapa waktu lalu dari seorang nyonya bos di perusahaan saya bekerja, dia informasikan kalau mau cari duren terenak di dunia itu dijual di Geylang, Singapore dengan kategori enaknya mulai dari A sampai 4D. Pastilah duren ini dari Malaysia. Nah, kalau yang 4D ini, katanya duren monthong Thailand juga lewat, dehh!!! Ya, tentu kalau saya berkesempatan lagi ke Singapura terutama Juli - Agustus, saya akan berburu, tuh, duren sampe kenyang, mau membujuk pasangan saya supaya anter saya ke sana dan ikutan makan duren. Malah kalo bisa, dibawa pulang juga ke Bandung, cuma saya masih mikir bagaimana caranya supaya wangi duren yang menyengat tidak tercium saat lewat imigrasi di bandara. Dulu pernah, sih, saya terbang dari Palembang ke Jakarta bawa duren Baturaja. Supaya tidak tercium bau durennya, daging buah duren setelah dibuang semua bijinya dimasukkan ke dalam kantong plastik, dijepret rapat-rapat supaya baunya tidak keluar dan kantong-kantong plastik itu saya simpan di tumpukkan pakaian dalam koper yang sengaja saya acak-acak. Waktu itu, sih, (sekitar tahun 1987) cara ini ampuh. Entah kalau sekarang. Mungkin kalau koper sekedar melewati sinar X saja, bisa lolos tetapi kalau di Bandara Husein Sastranegara, kan, semua koper harus dibuka, apa bisa lolos, enggak, ya? Nanti, ketauan, dong bawa duren impor. Eh, saya pasti perlu bantuan teman saya untuk tunjukkan tempat durennya. Soalnya nyonya bos itu ga pernah menghafal nama jalannya. Sedangkan buat saya, asal tahu nama jalan dan cukup baca peta, saya pastikan akan dapat temukan sendiri tempat tsb. Tak akan pernah saya kesasar di Singapura!!

Kalau kelak ke Singapura lagi, sekalian mencari duren, saya mau cari lagi crab beehon-nya Sin Huat Sea Food di Lorong Geylang 35, sebab terakhir saya ke Singapura April lalu, saya bersama pasangan datangnya kepagian, Pk 18.00 kedai Sin Huat-nya belum buka, ternyata baru buka mulai Pk 19.00!!! Benar kata Pak KF Seetoh, asal Menado pemilik Glutton’s Bay Makan Sutra di pinggir Esplanade di rubriknya Jalan Sutra, save the best for last!! Next time I will go again, sampai bisa benar2 makan, tuh yang namanya crab beehoon. Penasaran bener, nih, so badly!!

Eh, ada kejadian lucu, reaksi teman saya saat saya minta diantar ke Lorong 35 Geylang. Wajahnya menunjukkan keheranan sekaligus khawatir. “Geylang, loh?” tanyanya dengan tidak yakin. Rupanya pasangan saya selama ini tahunya kalau Geylang itu kawasan rumah bordil dengan nona-nona cantik sebagai pekerja seks komersial. Pasangan saya khawatir kalau kami berdua ke arah Geylang, nanti dikira saya adalah seperti nona-nona PSK, tsb. Yah, saya tertawa geli mendengarnya, lalu saya pinjam penjelasannya Pak Bondan bahwa kalau nomor lorongnya berangka ganjil, berarti aman, karena rumah bordil biasanya ada di lorong yang nomornya berangka genap. Saya bilang pada pasangan saya, “ Do not worry for whatever people may think about me, I go to Geylang looking for fried chicken not ‘flying chicken’!!”. Hahahaha….. Saya sempat nanya, ada, enggak, yah, terbersit di pikirannya kalau dia suatu saat ke Geylang untuk lihat “ayam terbang” bukan cari ayam goreng. Yah, si dia hanya menjawab, “ Do you think I am a kind of a man who like to move from one love to another love? Ay, yaaa…” Entah, lah, mana tahu…

Jadi, karena kedai Sin Huat belum buka, kami kemudian hunting ke pinggir Esplanade menuju Glutton’s Bay Makan Sutra, milik Pak KF Seetoh. Tujuannya mencari dadar tiram (di sana ditulis oyster omelete). Eh, apa hendak dikata, mungkin belum berjodoh, si kedai dadar tiramnya belum ada yang melayani padahal di mejanya sudah tertata piring bersusun. Mungkin baru buka malam hari. Akhirnya pasangan saya memberikan alternatif, makan kerang lala bakar (maaf saya enggak tahu kalau di Indonesia namanya apa). Dimasak pedas ditambah pasangan saya pesan makanan lain, seperti ayam bakar dan char kuay tiaw. Char kuay tiaw itu kweetiau dimasak a la Penang, lebih berbumbu dan warnanya coklat. Eh, entah kenapa saya merasa enggak sreg dengan rasa char kuay tiaw ini mungkin karena saya merasa asing dengan rasa bumbunya yang agak pedas dan juga ada manisnya. Sedangkan lidah saya ini lebih nikmat mencecap rasa asin dan asam.

Itu di Singapura. Di Malaysia, saya betul-betul beruntung memiliki beberapa teman, karena banyak yang mau traktir makan, hehehe. Pertama tiba di KL Mei lalu, oleh dua orang kolega KL, saya diajak menikmati dim sum tengah malam di Jalan Ipoh, KL. Di Jalan Ipoh ini tahun lalu, pertama kali saya mengenal yang namanya Bak Kut Teh, yaitu iga babi yang dimasak dengan bumbu herbal. Wangi bumbu herbalnya mengingatkan saya pada obat-obat racikan shinse di toko-toko obat China. Balik ke dimsum tengah malam, kami bertiga menikmati hidangan khas dim sum ada bak pau (wajib ada, loh meski ca sau pau/ bak pau ukuran kecil) ada siaw mai, dan di sini saya menikmati yang lamanya lo mai kai, seperti bacang, dibuat dari beras ketan dan di dalamnya berisi daging babi cincang. Rasanya, yah, lebih enak daripada lo mai kai atau dumpling di Singapura tetapi tetap saja saya memerlukan kecap asin untuk menyesuaikan dengan selera lidah saya.

Kalau ke Malaysia saya tidak pernah sudi kelupaan makan Bak Kut Teh. Kali ini saya lebih beruntung. Seorang teman saya, staf dari sebuah perusahaan supplier membawa saya ke Klang, tempat asal muasalnya Bak Kut Teh, sore hari setelah saya pulang dari Genting. Bersama istrinya, maka kami bertiga meluncur ke Klang, sebuah kota pelabuhan sebelah barat Kuala Lumpur. Kami kepingin makan Bak Kut Teh tetapi teman saya awalnya ragu apa iya, ada penjual Bak Kut Teh enak di Klang pada malam hari? Sepengetahuannya, Bak Kut Teh hanya dijajakan pada pagi hari sebelum waktu kerja. Sebab sejarahnya Bak Kut Teh itu dulunya dimulai oleh para pekerja pelabuhan Klang yang keturunan Tionghoa. Setiap pagi karena pekerjaan menjadi kuli pelabuhan itu berat, para kuli memerlukan tenaga ekstra, maka terciptalah Bak Kut Teh, dengan diberi bumbu herbal pada kuahnya. Saya pikir bumbu herbal tsb untuk menambah daya tahan tubuh, karena harumnya memang seperti obat-obat China yang diracik shinse. Setelah mencari dan bertanya-tanya pada seorang penduduk Klang, akhirnya kami temukan juga salah satu kedai Bak Kut Teh terbaik di Klang. Terletak di tengah kota Klang. Sayang sekali kami datang agak terlambat sehingga we missed the good stuffs macam cakue dan tahu, maka yang kami makan hanya Bak Kut Teh-nya. 6 mangkuk ukuran sedang Bak Kut Teh untuk bertiga, dan harum kuah herbalnya, wah, benar-benar ciamik, jauh lebih enak daripada yang di Jalan Ipoh atau di Jalan Raja Laut. Bagusnya lagi si pemilik kedai menyediakan kompor pada sisi setiap meja makan dan meletakkan sepoci air untuk menyimpan serbuk teh pada kompornya, sehingga pelanggan bisa kapan saja menuangkan teh panas ke dalam sloki. Tehnya bisa pilih yang bungkus merah atau hijau tetapi saya enggak perhatikan apa jenisnya, yang penting teh yang dipilih teman saya cocok dengan selera saya.

Di kemudian hari saya baru tahu, bahwa Bak Kut Teh seenak itu memang sesuai nama kedainya : Cau Chi Mei Wue yang artinya super taste, rasanya super. Yah, rasa Bak Kut Teh-nya benar-benar super enak, hingga membuat teman saya membawa kembali seluruh anggota keluarganya pada akhir pekan minggu itu, dan teman saya memberitahu kalau seluruh anggota keluarganya menyukai rasa Bak Kut Teh, di Kedai Cau Chi Mei Wue itu. Buat pencinta Koki yang memang doyan Bak Kut Teh dan kebetulan ada kesempatan ke Klang, kedai Cau Chi Mei Wue terletak di kota Klang tepat di sebelahnya Kamdar Supermarket, tapi maaf, teman saya lupa menginformasikan apa nama jalannya. Ah, sebut saja kedai Cau Chi Mei Wue, penduduk setempat tahu, dehh. Datanglah ke sana sore hari pk 5 atau 6, supaya masih kebagian cakue dan tahu. Kalau ada pecinta KoKi yang tahu nama jalannya, informasikan, dong! Yang lucunya, teman saya lapor kalau gara-gara saya membuat dia makan Bak Kut Terh, dia harus stop makan Bak Kut The selama sebulan karena kadar kolesterolnya naik. Hahaha

Makan berikutnya, makan nasi lemak! Ini dia!!! Saya benar-benar enggak punya bayangan sama sekali tentang nasi lemak yang terkenal seantero Malaysia ini sampai pasangan saya memperkenalkan nasi lemak, bukan yang di resto Madam Kwan di Suria KLCC karena di situ sudah berupa masakan Babah, campuran masakan Melayu dan Tionghoa. Pasangan membawa saya ke kawasan Kampung Baru, tepatnya di Jalan Raja Muda Musa, di situ di pinggir jalan di depan halaman sebuah rumah, ada kedai makan Nasi Lemak Antarabangsa. Pasangan saya semangat sekali mempromosikan nasi lemak produk kedai ini, katanya itu nasi lemak favoritnya. Nasi lemak dalam benak saya adalah nasi yang dibuat dari beras ketan, dan pasti lengket. Ternyata nasi lemak a la Malaysia itu adalah nasi dari beras pandan kualitas terbaik yang ditanak dengan santan kelapa dengan teman makannya ikan teri goreng, irisan telur rebus, sedikit kacang tanah dan sambal. Lauknya bisa pilih ayam goreng atau rendang sapi. Saya pastikan ayam gorengnya bukan ayam kampung karena ukurannya besar-besar. Saya mencicipi suapan pertama nasi lemak dengan penuh ingin tahu dan ternyata….yaaa, memang enak, sih, tetapi kalo menurut saya, terus terang saja masih lebih enak nasi uduk a la Sunda. Sambal nasi lemaknya pun tidak berasa pedas, malah cenderung manis. Setidaknya saya sudah merasakan salah satu produk kuliner kebanggaan warga Malaysia itu, dan saya rekomen, dehhh. Kedai makan Nasi Lemak Antarabangsa ini, murah meriah dan enak, but I am quite sure I can even make nasi lemak with much beter taste daripada yang dibuat di Malaysia. Ini masalahnya soal selera. Nasi lemak itu mirip nasi uduk, tetapi nasi uduk a la Sunda lebih gurih, lebih wangi karena pakai daun salam dan serai, serta keringan tempe dan rasa sambalnya pun lebih nendang pedasnya!! Kalau pengin wangi pandan, tinggal tambahkan daun pandan pada dandang saat menanak nasinya. So, up to my opinion, Sindanese nasi uduk is more tasty than nasi lemak. Kita harus bangga, loh, nasi uduk itu produk kuliner Indonesia. Seharusnya bisa juga terkenal layaknya nasi lemak a la Malaysia. Kuliner Indonesia yang sangat beragam tidak perlu kalah gengsi dari nasi lemak Malaysia. Next time saya harus coba nasi lemak yang di Madam Kwan. yang dimasak a la Babah. Saya sengaja simpan bagian ini ini untuk kelak kalau saya kembali ke KL bersama kakak saya. Tapi di resto Dapur Babah di Jalan Veteran I no 10, Jakarta, enggak ada nasi lemak a la Babah!! Hiks…hiks…

Pada perjalanan ke Malaysia ini, ada tiga hal dari makan-makan yang terpaksa terlewat karena memang tidak punya kesempatan. Pertama : mencicipi telur rebus bumbu herbal, yaitu telur yang direbus dalam air yang diberi ramuan herbal, harum herbalnya seperti harum kuha Bak Kut Teh. Kedua : minum Air Mata Kucing yaitu sirup buah longan dan ketiga : Yip Tzi Mei pau, yaitu bak pau raksasa sebesar piring makan. Ketiga macam hal ini terdapat di area Chinatown tepatnya di Jalan Petaling. Bak pau raksasa dinamakan Yip Tzi Mei pau karena konon, besarnya bak pau tersebut seperti besarnya (maaf) payudara seorang bintang film Hong Kng zaman dulu bernama Ms Yip Tzi Mei yang katanya ukuran payudaranya mencapai 36D. Benar tidaknya, entah,lah. Buat saya, yang penting menemukan bak paunya dan memakannya, enggak soal namanya apa atau konotasi tubuhnya siapa. Hehehe….

No comments:

Post a Comment