Sunday 23 April 2017

Diskusi Buku : Klenteng Gede Xie Tian Gong & Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung - di Museum KAA

Judul : Klenteng Xie Tian Gong 協天宮 (Hiap Thian Kiong, VIhara Satya Budhi) * Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung

Penulis : Sugiri Kustedja

Tahun Terbit : 2017

Penerbit : Bina Manggala Widya

Tebal : xvi + 300 halaman

ISBN : 975-602-18659-7-2



Diskusi Buku, Minggu, 19 Maret 2017

Memenuhi undangan dari teman-teman di Komunitas Jakatarub, plus ada teman di sana yang menjadi pembicara penanggap pada acara tsb, maka pada suatu Minggu yang cukup panas, bergegas saya ke Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) berharap tidak terlambat ke acaranya. Selain itu , saya datang juga karena ada pesanan dari teman di komunitas lainnya untuk membelikan dulu bukunya.

Kegiatan ini terlaksana karena kerja sama apik antara Komunitas Jakatarub dengan Centre for Chinese Diasporas Study (CCDS) Universitas Kristen Maranatha (UKM) Bandung dan tentunya MKAA yang memberikan tempatnya  untuk menjadi lokasi acara.



Tiba di pintu masuk MKAA, sudah ada meja untuk menjual buku tsb. Saya  beli bukunya dan karena saya membeli  lebih dari satu buku, terkesan sepertinya aku memborong bukunya, ditambah lagi, saya dimintai tolong lagi oleh teman lain dari komunitas yang lain lagi, yang kujumpai di dalam Ruang Pamer MKAA. Ternyata si teman itu tidak mengetahui jika ada penjualan buku. Ya, sudah, saya akhirnya macam benar-benar borong buku nyatanya!


Ternyata, acara diskusi bukunya molor dan karena saya belum tahu sampai kapan, maka saya gunakan kesempatan itu untuk "menodong" si penulis bukunya untuk memberikan otograf atas semua buku yang saya bawa. Tentu sebelumnya saya tuliskan nama-nama pada secarik kertas, agar si penulis buku tidak salah menuliskannya saat membubuhkan tanda tangannya. Penulis bukunya adalah Pak Sugiri yang menjadi narasumber ketika Komunitas Jakatarub mengadakan tur malam Tahun Baru Imlek beberapa waktu lalu.

Acara dimulai setelah terlambat sekian menit. Sedikit terganggu dengan si pembawa acaranya yang ternyata sangat tidak siap membuka acara, pada akhirnya si penulis bukulah yang benar-benar menyelamatkan acaranya.






Bingah, sebagai moderator acara dan Bapak Anton Sutandio dari UKM sedikit memberikan pemaparan mengenai kesannya setelah selesai membaca buku. Kesan mereka hampir sama, pada awalnya skeptis untuk membaca buku ini karena mengira akan menemukan istilah-istilah arsitek yang membingungkan dalam penulisannya. Ternyata mereka salah besar. 


Pak Sugiri Kustedja si penulis bukunya memang benar adalah seorang arsitek. Bahkan Beliau sudah mendapatkan gelar doktor untuk Arsitektur dari satu universitas swasta ternama di Kota Bandung. Namun ketika Bingah dan Pak Anton membaca buku ini, justru yang ditemukan adalah gaya penulisan yang bahkan memudahkan orang paling awam sekalipun untuk memahami. Selain itu ada penanggap pembicaranya Sonny Hermawan dari Jakatarub yang sedikit memaparkan mengenai kesannya sebagai keturunan  Tionghoa yang amat awam keterhubungannya dengan kelenteng yang juga disebut sebagai Vihara Satya Budhi tsb.

Pak Sugiri menjelaskan pada saat membuka paparannya, bahwa tujuan dibuatnya buku ini adalah sebagai buku panduan, karena sangat banyak masyuarakat yang datang ke Kelenteng Xie Tian Gong ini termasuk warga keturunan Tionghoa di Kota Bandung yang tidak banyak mengetahui sejarah dan tujuan kelenteng tsb didirikan, apalagi berkaitan dengan sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa sejak masa sebelum penjajahan Belanda. Apalagi di kelenteng tsb selain terdapat patung tuan rumah yaitu Guang Gong (Jendral Kwan Kong pada kisah Sam Kok alias Roman Tiga Negara), juga masih terdapat banyak simbol-simbol baik berupa ukiran, pahatan, sampai lukisan di dinding kelenteng. Termasuk pernah ada lukisan dari komik Sie Djin Kwie di dinding atas kelenteng sebelum akhirnya dihapus karena kabarnya keberadaan lukisan komik tsb membuat para pengurus kelenteng menjadi ribut selalu.


Selanjutnya berlangsung sesi diskusi dan tanya-jawab yang terpaksa harus dibatasi karena waktu yang diberikan untuk mengguakan ruangan juga menjelang jam tutupnya MKAA. Ada 10 peserta yang berpartisipasi, tak semuanya bertanya. Ada juga seorang ibu yang memberikan masukan kepada penulis mengenai kenangannya tentang Kelenteng Xie Tian Gong tsb. Di penutupan sesi, semua 10 peserta yang berpartisipasi tsb mendapatkan bingkisan kantung berisi memo dan mug dari sponsor acara.

Ada bagian yang menarik sebelum acara benar-benar berakhir. Ada Pak Sukandi minta izin untuk mmeberikan sedikit kata. Ternyata Beliau ini adalah keturunan kelima dari letnan Tionghoa Bandung kedua, Tan Haij Long. Saat penyampaian, Pak Sukandi tak hanya menyatakan terima kasihnya kepada penulis dan pihak CCDS atas dokumentasi tentang leluhurnya yang ikut disertakan di buku tentang kelenteng dalam bentuk lampiran, sehingga Beliau dan keluarganya akhirnya mendapatkan kisah sejarah lebih lengkap mengenai sang leluhur, juga menyatakan rasa malunya mengingat di dalam buku tsb si penulis buku juga menampilkan foto makam leluhurnya tsb dalam kondisi kurang terawat di Taman Pemakaman Khusus Cikadut, yang terkenal untuk memakamkan warga Bandung keturunan Tionghoa. Beliau berkata di jadapan semua peserta, akan segera mengurus makam leluhurnya tsb karena makam sang leluhur bisa dikategorikan sebagai bagian dari pelestarian budaya Kota Bandung


 Pak Sukandi, Keturunan ke-5 dari Letnan Tionghoa kota Bandung kedua 


Sebelum pulang, saya bersama seorang teman menyempatkan diri bergambar bersama penulis bukunya,  Pak Sukandi dan bersama Ibu Xiao Chao, seorang wartawati dari harian Guo Ji Ri Bao (國際日報) yang ternyata adalah teman Papa saya. Tentunya  tidak lupa, sesi foto bersama seluruh peserta yang masih ada di ruangan.








Resensi Bukunya menyusul.


Bandung, 23 April 2017