Friday 11 August 2017

Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe - Jejak Kereta Uap Dalam Kartu Pos Kuno

Penulis              : Olivier Johannes Raap
Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
ISBN                  : 
9786024243692
Halaman           : xxvii + 176
Cetakan            : Pertama



Harga                : Rp200.000 (2017)

Naik kereta api, tut, tut, tuuut….

Pembaca yang mengalami masa kecil tinggal di Indonesia sebelum tahun 2000-an, umumnya tahu sepenggal lirik ini dari sebuah lagu anak-anak ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio alias Ibu Soed. Bunyi tuut, tersebut berasal dari uap yang menggerakkan lokomotif penghela gerbong-gerbong kereta api sebelum akhirnya digantikan lokomotif diesel.

Kata ‘Sepoer’ yang menjadi kata awal judul buku ini diambil dari kebiasaan orang-orang di Pulau Jawa sejak zaman Hindia Belanda untuk menyebutkan kereta api, rangkaian moda transportasi terdiri dari satu lokomotif penghela dan beberapa gerbong untuk penumpang atau barang. Padahal sejatinya kata sepur itu berasal dari kata bahasa Belanda ‘spoor’ yang artinya adalah jalur kereta api, menunjukkan jalan atau trek yang dilalui rangkaian kereta api. Apa daya, salah kaprah tsb terus dilanjutkan hingga kini ketika zaman sudah apa-apa cukup daring alias dalam jaringan, dikenal  sebagai on line.

“Mas Oli, kapan mau launch buku baru?”

Tidak terhitung berapa kali pertanyaan itu dilontarkan. Akhirnya sekarang waktunya!

Dengan sukacita saya persembahkan hasil karya penulisan saya yang terbaru: Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Mari kita menikmati romantisme kereta api pada zaman dulu melalui koleksi kartu pos kuno!

Kutipan pernyataan di atas diambil dari bagian pengantar dari si penulis yang diambil dari buku ini. Menggambarkan rasa antusias para pembaca buku-buku sebelumnya. Buku Sepoer oeap ini akhirnya resmi terbit  pada 24 Juli 2017. Bertepatan dengan 150 tahun beroperasinya transportasi kereta rel di Indonesia.

Oli, si penulis asal Belanda kembali menuliskan kepingan sejarah tentang Hindia Belanda yang dilihatnya melalui kumpulan kartu-kartu pos kuno koleksinya dan menyenangkan bahwa satu tema mengenai kereta uap saja, kartu posnya bisa begitu banyak sehingga dapat dijadikan buku untuk dokumentasinya. Maka dari itu satu buku ini khusus membahas tentang kereta uap saja. Siapa yang sangka, dari kumpulan kartu pos kuno tentang kereta uap, bisa digali begitu banyak informasi berharga tentang sejarah sebuah negeri yang dulu bernama Hindia Belanda.


Bagi para pecinta kereta api, buku ini baiknya menjadi salah satu acuan sejarah seputar hal-hal tentang  perkeretaapian di Indonesia. Awal mula lintasan kereta uap dimulai di Jawa Tengah rute Semarang – Tanggung pada 1867, bahkan jauh lebh awal sebelum negara Tiongkok membangun pertama kali jalur perkeretaapiannya pada 1872. Dibangun Jalur rel pertama oleh sebuah perusahaan swasta Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij(NIS) yang berarti Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, pada perkembangannya perkeretaapan di Pulau Jawa saat itu, muncul perusahaan –perusahan lain hinggal totalnya pernah ada sampai ada 17 perusahaan perkeretauapan termasuk perusahaan kereta negara  Staats Spoorwegen (SS). Kesemua perusahaan kereta tsb nantinya melebur dan kelak menjadi cikal-bakal DKA, Djawatan Kereta Api yang sekarang ini sudah bertransformasi menjadi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

Tak melulu soal jalur kereta. Dari kumpulan kartu-kartu pos kuno yang berkaitan dengan kereta api ini, dibahas pula mengenai jenis-jenis lokomotif penghela kereta, jalur lebar, jalur sempit, tingkatan stasiun kereta dan masih banyak informasi berharga ditemukan tentang Pulau Jawa tempo doeloe plus ada tamu dari Pulau Sumatra, halaman 158

Tempat yang sekarang ini menjadi tujuan wisata unggulan di Semarang yaitu Lawang Sewu, ternyata di tempo doeloe, merupakan kantor untuk perusahaan kereta uap NIS. Gedung tsb tampil pula di buku ini. Silakan pembaca bandingkan kondisi Lawang Sewu yang di dalam  foto kartu pos kuno dengan kondisi saat ini. Keindahannya tak lekang oleh waktu, apalagi gedung ini benar-benar dirawat oleh PT KAI sekarang.

Banyak hal diungkap dari dokumentasi kartu-kartu pos kuno yang mungkin tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Membaca Daftar Isi saja kita bisa melihat beberapa hal yang terkait dengan jaringan kereta uap. Lintas dan lintasan, dari gula sampai tembakau, stasiun dan jembatan kereta uap dengan  situasi lingkungan sekitarnya sampai di bab terakhir ada sedikit kisah tenang lori monorel yang sebenarnya bukan kereta dan tak ada hubungan langsung dengan kereta uap. Sepertinya lori ini nyasar masuk ke buku ini. Relasi lori ini dengan kereta uap adalah karena kayu. Kayu untuk bahan bakar lokomotif kereta uap, dipanen dan dibawa dengan lori monorel ini.

Tak melulu membahas semua hal teknis yang berkaitan dengan kereta api. Beberapa hal-hal kecil pun dibahas meski tak banyak. Contohnya tentang perangko yang menempel pada beberapa kartu pos, seni arsitektur pada bangunan stasiun, atau istilah Buk Glendeng yang bisa ditemui pada halaman 53. Hal menarik tentang ketinggian di kawasan Priangan dibahas khusus pada bab tersendiri (Bab 4) lengkap dengan lengkungan kelokan dan cerita tentang dua lokomotif yang menghela satu rangkaian kereta. Hal yang masih dilakukan dalam ingatan saya, hingga 2014 untuk rangkaian kereta di Jalur Selatan Pulau Jawa, dari Stasiun Bandung sampai Stasiun Banjar dan sebaliknya.

Sejarah perkeretauapan di Jawa yang meningkat mengikuti pertambahan tahun, ketika kecepatan kereta ssemakin tinggi dan keperluan penggunaan kereta semakin beragam. Maka, akan ditemukan kisah tentang serdadu, jalur gula dan tembakau, bahkan jalur kopi juga ada. Jalur khusus yang lokomotifnya harus menggunakan roda gigi khusus di Bedono yang masih ada hingga saat ini dan tiba pada masa ketika kereta api tanpa api ditandai dengan adanya trem listrik. Berarti di masa itu, Pulau Jawa sudah amat maju untuk transportasi umum dengan kereta. Kemudian ada beberapa bab khusus membahas trem saja sampai tiba trem menjadi kereta api. Pasti akan makin menyenangkan jika dapat membaca buku ini sambil menikmati perjalanan kereta api.

Sekalian memberikan informasi, si penulisnya akan datang ke Indonesia dan akan diadakan acara diskusi buku ini, di beberapa kota di Pulau Jawa. Tunggu saja tanggal mainnya, yak. 


Bandung, 12 Agustus 2017

Linda Cheang

Tuesday 11 July 2017

Anggota Keluarga Baru

Halo semua, 


Harapkan semua yang membaca tulisan saya ini, sehat dan sukacita, diberkati Tuhan.

Sekian waktu saya menghilang, tidak menulis apa-apa untuk media manapun termasuk rumah saya sendiri, sekarang saya mau sengaja ambil waktu membuat tulisan ini untuk menceritakan tetnang anggota keluarga baru yang hadir, dan awalnya bermula dari sebuah rumah bersama yang bernama Baltyra.


Di Agustus 2016 lalu, anggota Baltyra yang kita kenal dengan nama Angela Januarty Kwee alias Angel, teman kita yang tinggal di Sintang- Kalbar ini,  menghubungi saya berkaitan dengan rencana kegiatannya yang dia sebut dengan petualangan, dan minta agar saya boleh memberi beberapa info. Singkat kisah, Angel ini saya tawarkan untuk tinggal di rumah saya saja tentu setelah saya minta izin dulu kepada Mama sebagai orangtua dan yang dituakan. Kebetulan kami memiliki sebuah paviliun yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal untuk tamu, walau kondisinya, ya, seadanya.  Angel akhirnya memang jadi tinggal di paviliun tsb dan ternyata, di dala bagian petualangannya, Angel membawa teman seperjuangan, yaitu Laeli, asal Kota Mataram di Pulau Lombok - NTB, jadi dia anak Lombok. Pulau Lombok, yah, bukan lombok yang artinya cabe. 


Jadilah Angel dan Laeli bagian dari keluarga saya sampai waktu mereka kembali ke kampung masing-masing. 
Syukur, bahwa Angel dan Laeli bisa menerima kondisi untuk tinggal dalam sebuah paviliun sederhana, yang penting privasi mereka terjamin dan mereka bisa belajar tanpa terganggu oleh aktivitas kami di rumah utama. Mereka bahkan dibekali kunci pintu pagar rumah kami, sehingga mereka dapat pergi dan pulang kapan saja sesuai kebutuhan kegiatan mereka. 

Terlampir di sini ketika kami bertiga ambil gambar bersama sebelum jalan-jalan ke beberapa titik di Kota Bandung pada suatu pagi. 

Kami bertiga menjelang jalan-jalan


Kedatangan

Fast Forward mode. Pada suatu hari di April 2017, saya mendapat pesan dari WA, ternyata Laeli memberitahukan bahwa dia akan kembali ke Bandung lagi untuk tugas belajar selama 3 bulan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, d.h IKIP Bandung). Kali ini dia akan datang bersama seorang teman dari NTB juga namun berbeda pulau. Mereka akan datang tepat sehari sebelum tugas belajar mereka dimulai, lewat udara. Maka, saya siapkan waktu untuk menjemput mereka di Bandara Husein Sastranegara.

Sebenarnya Mama sudah mengizinkan bila Laeli dan temannya tsb jika ingin tinggal bersama kami lagi selama menjalani tugas belajar tsb, namun ternyata Laeli memilih mencari tempat kos yang lokasinya dekat dengan UPI agar tidak makan waktu banyak di perjalanan. Ya, karena jarak rumah saya ke UPI pergi-pulang meski sebenarnya tidak jauh, namun arus lalu lintasnya ramai bahkan sering macet, terutama di akhir pekan, karena lokasi UPI itu termasuk wilayah Bandung Utara, jalurnya ke tempat-tempat wisata. Akhirnya waktu untuk Laeli dan kawannya tiba di Bandung diinformasikan dan saya bersiap jemput mereka.

Ternyata, waktu mereka mepet sekali. Mereka tiba di Bandung tepat sehari saja sebelum tugas belajar mereka dimulai, nyaris tak ada waktu untuk "bernapas". Itupun pakai acara penerbangan delay segala, akhirnya mereka tiba waktu sudah lewat maghrib. Saya datang menjemput mereka bersama Edwin, keponakan saya yang pasti bisa diandalkan untuk bawa barang-barang berat.

Laeli yang pertama kali melihat saya ketika saya mengarahkan mobil menuju bagian kedatangan di lokasi bandara. Dan ketika saya melihat sendiri besarnya koper yang dibawa Laeli, spontan saya bilang, "Laeli, kamu bawa koper macam begitu, kayak kamu mau pindah kampung aja!"

Kopernya memang besar, sih. Belum lagi, alamak! Laeli membawa tentengan barang-barang lain, buah tangan termasuk sayuran kangkung Lombok yang ukurannya juga jumbo. Kelak kangkung umbonya yang banyak itu dibagi-bagi ke tetangga dan ke teman keluarga kami, setelah kami sendiri ambil secukupnya. Aduh, Laeli, adik saya yang satu ini, bener, deh, luar biasa, bikin kami tepok jidat! Sudah jauh hari saya dan Mama sampaikan padanya, tidak perlu merepotkan diri membawa buah tangan untuk kami, cukuplah Laeli tiba di kota kami dengan selamat dan sehat, karena kami senang bisa jumpa lagi dengannya dan terutama, karena Laeli tidak melupakan kami.

Kami bergegas menuju rumah saya karena Laeli dan kawannya itu harus persiapan betul untuk esok harinya ke kamus UPI tak banyak waktu lagi. Tiba di rumah, diputuskan bahwa malam itu mereka harus nginap di rumah kami dan Intan serta Lalei setuju bahwa koper-koper mereka ditinggal dulu, saat mereka ke kampus untuk acara pembukaan tugas belajarnya. Mereka menuju kampus UPI akan naik taksi, dan kebetulan satu merek taksi kota saya punya pool di belakang rumah saya. Maka mereka akan naik taksi itu untuk menuju kampus UPI. Cukup tinggal tunjukkan satu jari, maka segera seorang supir, taksi siap. Ya, karena banyak armada taksi yang parkir berjajar di depan sepanjang tembok rumah saya setiap pagi hari.

Teman yang dibawa Laeli, dikenalkan namanya Intan, asal Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa. Intan ini perawakannya kecil, langsing dan ternyata wajahnya banyak "bintang" alias banyak jerawat. Sejujurnya, ketika Intan dipertemukan dengan Mama saat kami semua tiba di rumah saya, Mama sempat trenyuh padanya. Apalagi ternyata Intan ini termasuk punya masalah, susah makan! Segera saja di benak saya terlintas jurus-jurus untuk "memperbaiki" Intan yang kelak akan memiliki tampilan wajahnya yang berubah sekali, setelah dia selesaikan tugas belajarnya.


Esok harinya mereka berdua bergegas berangkat ke kampus UPI dan sorenya, kembali ke rumah kami untuk ambil koper, pindah ke tempat kos. Saya bersama Edwin lagi, mengantarkan mereka dan ketika tiba di tempat kos, duh, situasi kosnya sebenarnya memprihatinkan. Sempit, harus naik-turung tangga dan lembab, kamarnya di paling ujung pula, namun baik Laeli dan Intan bisa menerimanya, karena lokasi kosnya memudahkan mereka untuk mencapai UPI dan lagipula fasilitasnya masih jauh lebih baik daripada tempat-tempat kos teman-teman mereka yang kabarnya malah dapat kosongan, alias kamar saja tanpa ada kasur, meja, apalagi lemari untuk baju bahkan kamar mandi dalam.

Inilah gambar yang mereka kirimkan dari kelas mereka, setelah mereka tinggal di tempat kos.


Selama masa 3 bulan mereka tugas belajar, ada beberapa kali Laeli sendiri atau Laeli bersama Intan mengunjungi kami dan menginap semalam di waktu akhir pekan. Saya sempat mengajari mereka naik angkot, naik bus kota, karena mereka harus bisa ke mana-mana sendiri menggunakan transdportasi umum yang ada. Bahkan Laeli lebih hebat lagi. Di suatu akhir pekan panjang karena ada hari libur nasional, dia pergi sendiri ke Semarang mengunjungi adiknya, dengan transportasi bus AKAP yang berangkat malam hari, karena sudah tidak kebagian tiket kereta api Bandung - Semarang pp. Intan yang awalnya mau ikut ke Semarang, membatalkan rencananya dan memilih pergi bersama kawan-lawan sekelasnya. Di suatu akhir pekan bahkan Intan menjajal kereta api lokal bersama kawan-lawannya tsb ke Sumedang. Baguslah untuk Intan bisa merasakan moda transportasi yang tidak ada di kota asalnya, yaitu kereta api.

Di masa akhir waktu tugas belajar mereka, pas waktunya bulan puasa. Seminggu sebelum mereka selesai belajar, Laeli memberi kabar akan menginap lagi di rumah kami,  tapi kali ini Intan akan memberi kejutan. Ketika tiba di rumah kami,  Intan memperlihatkan wajahnya yang  sudah bersih dari jerawat membandelnya. Ternyata itu bisa terjadi karena Intan mau menuruti saran kami, agar  rutin minum yoghurt setiap hari. Saya ingat betul, ketika pertama kali Intan di rumah kami, dia emoh minum yoghurt sampai akhirnya mau dibujuk dengan yoghurt rasa Anggur. Rupanya alasan Intan emoh minum yoghurt adalah rasa yoghurt yang kecut, tapi begitu dia mencicipi yoghurt rasa anggur yang kami berikan padanya, barulah dia menyukainya dan mau rutin minum.

Ada dua malam mereka menginap di rumah kami, sepekan menjelang selesainya tugas belajar mereka, dan mereka sempat silaturahmi dengan tetangga seberang rumah kami, yang membuat tajil untuk buka puasa. Mereka berdua suka sekali menyantap Karedok setelah selesai sholat maghrib selepas buka puasa. Laeli malah suka sekali dengan Bubur Sumsum sampai setiap kali buka puasa, dia beli menu itu.

Di waktu menginap dua malaml ini, Intan yang sudah dapat kepastian akan terbang pulang dari Jakarta, belajar untuk membeli tiket kereta api rute Bandung - Jakarta dari sebuah minimarket dekat rumah.


Kepulangan Mereka

Tibalah hari ketika mereka benar-benar mengakhiri tugas belajarnya. Waktu sangat mepet bagi mereka terutama bagi Intan. Suatu Minggu siang saya jemput mereka dari tempat kos, busyet! Barang yang haruis diangkut banyak sekali, ibarat sudah tinggal selama bertahun-tahun. Belum lagi saya mesti membawa mobil dengan agak ngebut dan mencari jalan-jalan alternatif menuju ke rumah yang lebih bebas dari macet, karena sore harinya Intan harus sudah berada di Stasiun Bandung. Terima kasih dengan adanya Google map GPS,  jadilah kami ambil rute  yang memutar ke arah luar kota Bandung untuk menuju ke rumah saya walau jauh namun arus lalu lintasnya lancar, sehingga ketika tiba di rumah, bahkan masih sangat cukup waktu untuk Intan dan Laeli beli tajil untuk terakhir kalinya ke si tetangga seberang, makan dulu karena mereka berdua sedang tidak bisa berpuasa saat itu, bebenah barang-barangnya dan bahkan sempat ambil gambar terakhir sebelum menuju ke Stasiun Bandung. Hal itu tak akan mungkin terjadi bila kami ambil rute lewat kota yang lebih pendek jaraknya, karena melalui Google map GPS banyak ruas jalan yang sudah berwarna merah gelap, tanda kemacetan ada di situ.

Bergambar bersama Mama dan kakak saya untuk terakhir kali sebelum Intan ke Stasiun


Intan, sebelum boarding ke kereta


Tibalah di Stasiun Kereta Bandung dan hal yang saya duga terjadi. PT KAI  mempercepat keberangkatan 10 menit dari yang seharusnya Pk 16.10. Untung saja kebiasaan saya dan keluarga untuk siap di stasiun minimal 45 menit sebelum jadwal keberangkatan kereta membuat semua hal yang perlu bisa dilakukan sebelum Intan benar-benar harus masuk ke peron stasiun ketika kami para pengantarnya sudah tidak bisa lagi masuk. Mencetak boarding pass kereta, ambil uang di ATM sampai bergambar bersama dulu sebelum kami benar-benar berpisah dengan Intan. Sele[as bergambar ini, Intan check in untuk masuk peroan dan rasanya campur aduk antara senang dan sedih melihatnya berjalan menuju gerbong kereta. Senang karena Intan akan kembali ke keluarganya, sedih karena Intan pun sudah jadi bagian keluarga kami dan sekarang harus pergi dari kami.

Intan memang sudah pergi tapi dia masih menyisakan PR untuk kami, terutama untuk Laeli. Ada satu koli barangnya yang akan dikirimkan pakai ekspedisi, bersama 3 koli barang milik Laeli. Maka selepas mengantar Intan, kami pulang, dan tiba di rumah, Laeli jadi sibuk melakukan pengepakan barang-barangnya karena esok paginya Laeli akan terbang ke kotanya dari bandara Bandung. Pengepakan mesti sebaik mungkin agar ketika pengiriman oleh ekspedisi, tidak sampai terbuka di tengah jalan.

Malam itu juga setelah pengepakan selesai, Laeli minta agar si bapak petugas agen ekspedisi untuk ambil/jemput semua total 4 koli barang. Kami menggunakan ekspedisi anak perusahaan sebuah maskapai penerbangan nasional. Petugas agen ekspedisinya, masih tetangga saya dan mau menjemput kesemua barang yang akan dikirimkan. Maka barang-barang dijemput untuk dilakukan penimbangan dan pengukuran agar mendapatkan angka berat yang pasti. Entah berat karena massa barang atau bisa saja kena berat setelah dihitung volume kemasan barang. Sampai dua kali bolak-balik karena ternyata si petugas hanya pakai sepeda motor.

Setelah barang dijemput, saya menemani Laeli ke kantor agen ekspedisinya untuk menyelesaikan pembayaran biayanya, sekalian memastikan bagaimana pengemasaan oleh si agen. Bagi Laeli keberuntungan yang didapatnya karena lokasi agen ekspedisi dekat plus dapat harga khusus tetangga, yang diberikan si petugas agennya, karena harga khusus tsb semestinya kepada saya, sih, sebagai tetangga si bapak petugas. Semua barang termasuk milik Intan dikirimkan ke Mataram.

Urusan pengiriman selesai selepas Pk 22.00. Makanya jika para pembaca melihat wajah saya yang kurang segar di foto di bawah ini, ketika saya dan Laeli bergambar bersama di bandara, yah, itu efeknya. Foto itu dibuat menjelang pukul setengah enam pagi, sebab Laeli, saya,  Mama dan keponakan saya bangun di sebelum subuh untuk persiapan mengantar Laeli ke bandara. Walau jarak dari rumah saya ke bandara amat dekat, nggak sampai 3 KM, namun perlu ada saja kewaspadaan dan antisipasi dalam perjalanan.



Berfoto pada replika bus Bandros



Laeli akhirnya terbang pulang ke Mataram. Sempat berkirim kabar penerbangannya dialihkan ke Surabaya karena cuaca burut saat maui transit di Denpasar, akhirnya tiba dengan selamat di kampung halamannya.

Pada hari Idul Fitri, Intan dan Laeli masing-masing mengirimkan gambar bersama keluarga tercinta mereka selepas sholat Ied merayakan Idul Fitri. Paling mudah menemukan Intan di gambar yang dia kirimkan. Intan, yang wajahnya paling cling dan susah bebas dari jerawat, hehe. Dan bisa melihat kebahagiaan Laeli bisa berkumpul lagi bersama anak dan suami setelah 3 bulan tugas belajar.






Terima kasih adik-adikku Intan dan Laeli atas kesempatan saya beserta keluarga boleh dipercaya menjadi keluarga kalian. Bersyukur karena kita menjadi contoh langsung bahwa toleransi itu tak hanya sekedar baru ucapan, namun kita sudah buktikan dengan tindakan nyata. Salam hangat selalu dari kami di Bandung.

Tidka lupa, terima kasih kepada Angel, teman kita salah satu penulis Baltyra, karena mulanya melalui Angel, maka kisah kami ini bisa terekam di sini.


Cibeureum - Bandung, 11 Juli 2017


Linda Cheang

Sunday 23 April 2017

Diskusi Buku : Klenteng Gede Xie Tian Gong & Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung - di Museum KAA

Judul : Klenteng Xie Tian Gong 協天宮 (Hiap Thian Kiong, VIhara Satya Budhi) * Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung

Penulis : Sugiri Kustedja

Tahun Terbit : 2017

Penerbit : Bina Manggala Widya

Tebal : xvi + 300 halaman

ISBN : 975-602-18659-7-2



Diskusi Buku, Minggu, 19 Maret 2017

Memenuhi undangan dari teman-teman di Komunitas Jakatarub, plus ada teman di sana yang menjadi pembicara penanggap pada acara tsb, maka pada suatu Minggu yang cukup panas, bergegas saya ke Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) berharap tidak terlambat ke acaranya. Selain itu , saya datang juga karena ada pesanan dari teman di komunitas lainnya untuk membelikan dulu bukunya.

Kegiatan ini terlaksana karena kerja sama apik antara Komunitas Jakatarub dengan Centre for Chinese Diasporas Study (CCDS) Universitas Kristen Maranatha (UKM) Bandung dan tentunya MKAA yang memberikan tempatnya  untuk menjadi lokasi acara.



Tiba di pintu masuk MKAA, sudah ada meja untuk menjual buku tsb. Saya  beli bukunya dan karena saya membeli  lebih dari satu buku, terkesan sepertinya aku memborong bukunya, ditambah lagi, saya dimintai tolong lagi oleh teman lain dari komunitas yang lain lagi, yang kujumpai di dalam Ruang Pamer MKAA. Ternyata si teman itu tidak mengetahui jika ada penjualan buku. Ya, sudah, saya akhirnya macam benar-benar borong buku nyatanya!


Ternyata, acara diskusi bukunya molor dan karena saya belum tahu sampai kapan, maka saya gunakan kesempatan itu untuk "menodong" si penulis bukunya untuk memberikan otograf atas semua buku yang saya bawa. Tentu sebelumnya saya tuliskan nama-nama pada secarik kertas, agar si penulis buku tidak salah menuliskannya saat membubuhkan tanda tangannya. Penulis bukunya adalah Pak Sugiri yang menjadi narasumber ketika Komunitas Jakatarub mengadakan tur malam Tahun Baru Imlek beberapa waktu lalu.

Acara dimulai setelah terlambat sekian menit. Sedikit terganggu dengan si pembawa acaranya yang ternyata sangat tidak siap membuka acara, pada akhirnya si penulis bukulah yang benar-benar menyelamatkan acaranya.






Bingah, sebagai moderator acara dan Bapak Anton Sutandio dari UKM sedikit memberikan pemaparan mengenai kesannya setelah selesai membaca buku. Kesan mereka hampir sama, pada awalnya skeptis untuk membaca buku ini karena mengira akan menemukan istilah-istilah arsitek yang membingungkan dalam penulisannya. Ternyata mereka salah besar. 


Pak Sugiri Kustedja si penulis bukunya memang benar adalah seorang arsitek. Bahkan Beliau sudah mendapatkan gelar doktor untuk Arsitektur dari satu universitas swasta ternama di Kota Bandung. Namun ketika Bingah dan Pak Anton membaca buku ini, justru yang ditemukan adalah gaya penulisan yang bahkan memudahkan orang paling awam sekalipun untuk memahami. Selain itu ada penanggap pembicaranya Sonny Hermawan dari Jakatarub yang sedikit memaparkan mengenai kesannya sebagai keturunan  Tionghoa yang amat awam keterhubungannya dengan kelenteng yang juga disebut sebagai Vihara Satya Budhi tsb.

Pak Sugiri menjelaskan pada saat membuka paparannya, bahwa tujuan dibuatnya buku ini adalah sebagai buku panduan, karena sangat banyak masyuarakat yang datang ke Kelenteng Xie Tian Gong ini termasuk warga keturunan Tionghoa di Kota Bandung yang tidak banyak mengetahui sejarah dan tujuan kelenteng tsb didirikan, apalagi berkaitan dengan sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa sejak masa sebelum penjajahan Belanda. Apalagi di kelenteng tsb selain terdapat patung tuan rumah yaitu Guang Gong (Jendral Kwan Kong pada kisah Sam Kok alias Roman Tiga Negara), juga masih terdapat banyak simbol-simbol baik berupa ukiran, pahatan, sampai lukisan di dinding kelenteng. Termasuk pernah ada lukisan dari komik Sie Djin Kwie di dinding atas kelenteng sebelum akhirnya dihapus karena kabarnya keberadaan lukisan komik tsb membuat para pengurus kelenteng menjadi ribut selalu.


Selanjutnya berlangsung sesi diskusi dan tanya-jawab yang terpaksa harus dibatasi karena waktu yang diberikan untuk mengguakan ruangan juga menjelang jam tutupnya MKAA. Ada 10 peserta yang berpartisipasi, tak semuanya bertanya. Ada juga seorang ibu yang memberikan masukan kepada penulis mengenai kenangannya tentang Kelenteng Xie Tian Gong tsb. Di penutupan sesi, semua 10 peserta yang berpartisipasi tsb mendapatkan bingkisan kantung berisi memo dan mug dari sponsor acara.

Ada bagian yang menarik sebelum acara benar-benar berakhir. Ada Pak Sukandi minta izin untuk mmeberikan sedikit kata. Ternyata Beliau ini adalah keturunan kelima dari letnan Tionghoa Bandung kedua, Tan Haij Long. Saat penyampaian, Pak Sukandi tak hanya menyatakan terima kasihnya kepada penulis dan pihak CCDS atas dokumentasi tentang leluhurnya yang ikut disertakan di buku tentang kelenteng dalam bentuk lampiran, sehingga Beliau dan keluarganya akhirnya mendapatkan kisah sejarah lebih lengkap mengenai sang leluhur, juga menyatakan rasa malunya mengingat di dalam buku tsb si penulis buku juga menampilkan foto makam leluhurnya tsb dalam kondisi kurang terawat di Taman Pemakaman Khusus Cikadut, yang terkenal untuk memakamkan warga Bandung keturunan Tionghoa. Beliau berkata di jadapan semua peserta, akan segera mengurus makam leluhurnya tsb karena makam sang leluhur bisa dikategorikan sebagai bagian dari pelestarian budaya Kota Bandung


 Pak Sukandi, Keturunan ke-5 dari Letnan Tionghoa kota Bandung kedua 


Sebelum pulang, saya bersama seorang teman menyempatkan diri bergambar bersama penulis bukunya,  Pak Sukandi dan bersama Ibu Xiao Chao, seorang wartawati dari harian Guo Ji Ri Bao (國際日報) yang ternyata adalah teman Papa saya. Tentunya  tidak lupa, sesi foto bersama seluruh peserta yang masih ada di ruangan.








Resensi Bukunya menyusul.


Bandung, 23 April 2017

Friday 24 February 2017

Misa Hari Perkawinan Sedunia

Gereja St. Laurentius Sukajadi, Minggu, 19 Februari 2017 Pk 12.30

Aku tiba dengan terlambat gara-gara arus lalu lintas macet plus angkotnya sempat-sempatnya ngetem.

Ketika tiba, prosesi perarakan masuk sudah selesai dan imam selebran yang saat itu adalah Uskup Bandung, sudah menggoyangkan wiruk untuk mendupai altar. Aku juga gagal dapat tempat duduk di dalam gedung gerejanya karena terlambat tiba beberapa menit pun itu.


Akhirnya,  aku cari temat duduk di luar gedung dan bodohnya aku, kenapa nggak pilih kursi sedikit ke tengah saja agar bisa leluasa memandang ke dalam gedung dan bukannya hanya melihat TV.😅

Yah, segitupun masih bisa melihat ke arah ambo ketika Si Bapak Uskup membawakan homilinya. Mana tahu  Beliau yang mulia, menyadari juga kehadiranku diam-diam ini. 😇



saat homili.







Dan selesai ibadah, tentu saja Si Bapak Uskupnya dikerubungi umat untuk bergambar bersama  😄


Aku paling suka foto yang ini. Sumringah! 



Sumber foto :

- Koleksi Pribadi
- Buletin Summa

Tuesday 14 February 2017

Anjangsana Ke Buka Rumah Uskup yang Berulangtahun

Selasa, 14 Februari 2017 kemarin, uskupnya Keuskupan Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, memperingati hari lahirnya di usia yang ke-49 tahun. Menurut informasi dari sumber yang memang amat bisa dipercaya, pada hari kelahirannya Uskup Bandung dipastikan mengadakan acara Buka Rumah, alias open house di kediamannya, rumah dinas Wisma Keuskupan Bandung.

Akupun mendapat konfirmasi tegas, acara Buka Rumah ini terbuka bagi siapa saja warga yang mau datang untuk memberi ucapan  selamat ulang tahun pada Bapa Uskup, sekalian silaturahmi. Maka setelah aku tanya lagi untuk konfirmasi, aku koordinasi dengan beberapa teman di komunitas Jakatarub, Komunitas Sasadu Netizen dan komunitas lainnya yang bverkaitan dengan lintas agama, untuk ikut datang dengan tujuan kenalan dan silaturahmi.

Selamat ulang tahun kepada Gembala Keuskupan Bandung, 'Paman' Mgr. Antonius S. Bunjamin. Tuhan memberkati pelayanan Anda senantiasa.

Inilah dokumentasinya :




Akhirnya aku bisa membuat Mama ketemu Si 'Paman'. 
Foto ini dari kamera HPku


 Seperti inilah penampakan kue ultahnya Monsinyur tahun ini

Kuria Keuskupan Bandung. Ki-Ka : Sekretaris Keuskupan, Vikaris Jendral (wakil uskup), Uskup Bandung dan Ekonom Keuskupan.
Si 'Paman' uskup yang berulang tahun, sumringahnya lebar


Foto-foto ini pinjam kameranya Pak Herman

 Bersama teman-teman dari GKI Kebonjati


 Temanku  dan maminya. Si mami senang sekali bisa bertemu langsung dengan Uskup 


 Seorang sesepuh Bandung, Ibu Teko

 Temanku yang lagi belajar Buddha Theravada, ikut datang menemui Monsi

 Beberapa teman dari Jakatarub, bergambar di ruang kerja Uskup 


ini sih, numpang wefie di rumah dinasnya uskup

 Wakil dari GKJ Bandung

 Ibu Ketuanya Komunitas Netizen bersama Uskup di depan rudinnya

Wakil dari Netizen, ini di ruang kerja


Bandung, 15 Februari 2017

Linda Cheang



Sumber foto :
- Koleksi pribadi
- Suherman Tjandra
- Devi Muthia
- Pdt. Firdaus T. Kurniawan
- Eko Dean Wchs
- Majalah Komunikasi


Tuesday 7 February 2017

Buku Stranger At Home : Gegar Budaya Ketika Pulang ke Tanah Air





















Penulis : Louisa Veronica dan Tessa Ayuningtyas Sugito

Tebal  : xx +202 

Tahun terbit : 2016

Penerbit : Fire Publisher 

Harga   : Rp90.000/- (2017)



Kedua penulis buku ini adalah warga Baltyra, maka saya khusus menuliskan ini juga untuk Baltyra. Tulisan ini isinya adalah kesan yang saya dapatkan dari hasil menikmati buku ini. Semoga berkenan.


Bagi para warga Indonesia yang pernah tinggal  sekian waktu lamanya di luar wilayah Indonesia lalu memutuskan kembali lagi ke Tanah Air, tentunya mengalami perasaan terasing, sampai berbenturan dengan kebiasaan yang berbeda sama sekali dengan kebiasaan lingkungan di luar Indonesia. Keadaan ini disebut sebagai culture shock alias gegar budaya.


Gegar budaya itulah juga dialami oleh Nonik dan Tessa (alias Sasayu), dua saudari bersepupuan ini, yang dituangkan ke dalam buku yang mereka tulis bersama. Melihat tulisan "gegar Budaya di Kampung Halaman" di tembok fesbuknya Nonik, saya bergegas membelinya, selain karena sayapun pernah mengalami juga hal gegar budaya ini setelah sekian tahun tinggal di luar Indonesia (walau secara bolak-balik, sih), alasan tepatnya adalah harga bukunya yang sengaja dibuat miring selama periode promosi  bagi 50 orang pertama. Jurus cari yang lebih murah saja dan mumpung isi dompet saya masih cukup untuk beli buku  :D


Setelah mengalami  sedikit kendala dalam pengiriman karena kurir yang kurang sigap, akhirnya buku ini tiba di tangan saya dan saya atur waktu untuk membaca secara bertahap, sebab harus bergiliran dengan baca buku-buku yang lainnya. Ternyata dalam buku ini pun ada Kata Pengantar yang dituliskan oleh Pendiri Baltyra ini, Suhu Joseph Chen, plus seorang penulis senior Baltyra, Pak Handoko Widagdo di bagian Kata Mereka. Warga Baltyra baiknya perlu punya buku ini. :D 

Sebenarnya waktu membaca buku ini memang tidak perlu lama-lama karena gaya penulisannya yang ringan dan enak, tidak membuat dahi berkerut, justru di beberapa bagian membuat saya ngakak. Sekiranya jika tidak harus diselingi kewajiban baca buku-buku lain, saya yakin buku ini bisa saya selesaikan bacanya dalam hitungan jam saja, bukan beberapa hari. 


Menarik ketika saya mulai membaca secara sekilas dulu, saya sudah bisa mengikuti alur kisah Nonik dan Tessa ketika bersiap menjalani kuliah di luar negeri. Nonik yang melanjutkan kuliah S-2 di Swiss dan Tessa yang setelah lulus SMA, lalu sepenuhnya kuliah di luar negeri untuk S-1 dan S-2. Kondisi yang benar-benar membuat saya jadi iri karena saya tak seberuntung mereka. Termasuk kehebohan mereka ketika pertama kalinya berangkat ke luar negeri lengkap dengan kisah super noraknya dan kerepotan orangtua yang mendorong si anak untuk ambil program bea siswanya.


Saya melanjutkan membaca secara serius dan menyelesaikannya, saya menemukan bahwa saya bisa menikmati cara mereka bercerita tentang pengalaman mereka selama berada di Swiss untuk Nonik dan di Belanda serta Finlandia untuk Tessa.  Saya jadi benar-benar ngerti kenapa Tessa suka disebut sebagai si tukang bakar restoran, dan Nonik yang harus terengah-engah bersama anggota kelompok yang lebih suka berbicara dengan bahasa ibu negara mereka yang kebetulan sama-sama bahasa Portugis walau dari negara berbeda. Tessa yang bisa menikmati nikmatnya uap panas sauna lalu langsung bergulingan pada salju yang dingin, sampai Si Mboknya Tessa salah paham, mungkin karena kurang tahu seperti apa rasanya negeri di wilayah kutub itu. Ada lagi juga kisahnya Tessa dengan teman senegara dengan cerita terasinya si teman yang agak berbau mistis,  benar-benar bikin saya ngakak sambil geleng-geleng kepala, dan Nonik yang bertutur pengalamannya seru ketika bekerja di dua restoran yang dimiliki dua wanita Tionghoa berhubungan keluarga, lengkap dengan segala kendala bahasa karena kedua nyonya Tionghoa kurang fasih berbahasa Prancis, dan Nonik juga ada kendala berbahasa Mandarin.  Kisah Nonik ketar-ketir  tinggal dengan uang mepet di sisa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, namun masih beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai au pair. 

Terima kasih buat Nonik dan Tessa yang bersedia berbagi kisah hidup mereka. Di bagian penuturan ketika mereka mengalami gegar budaya di kampung halaman, saya yakin bisa lebih seru lagi jika mereka berdua mau membuka beberapa detil hal ikhwal penyebab mereka mengalami gegar budaya. Sebab sejujurnya menurut saya, sebgaian besar isi buku dengan judul yang ditampilkan agak kurang klop. Bagian gegar budayanya masih kurang banyak diceritakan.  Saya sebenarnya tertarik dengan cerita Tessa ketika pulang kembali ke Si Mboknya yang tipe Asian Tiger Mom, satu dari sekian penyebab gegar budaya yang dialami. Sudah pasti banyak kisah menarik yang bisa dipaparkan di buku ini, dan pasti bisa juga dipahami oleh sesama anak-anak produk para Tiger Mom (termasuk saya). Saya juga bahkan kepingin bisa mendengar ceritanya Nonik ketika mendapati tidak nyambungnya komunikasi dan cara berpikirnya Nonik dengan kerabat dan orang sekitar setelah Nonik baru pulang dari Swiss. Pasti akan banyak kisah-kisah ajaib jika saja boleh dibagikan detilnya walau tidak harus ekstra detil. 


Maaf, ya, Nonik, Tessa. Ini hanya sedikit pendapat saya, harapkan kalian tidak berkecil hati karenanya. Saya mengalami juga situasi hellish with Asian Tiger mom dan nggak nyambungnya pola komunikasi dengan keluarga/kerabat/orang-orang sekitar, sampai saat ini. Namun, saya sepakat dengan Nonik dan Tessa untuk  menerima dan berdamai dengan situasi seperti itu.

Terlepas dari ditemukannya beberapa bagian yang harus dikoreksi dan saya sudah memberitahu Nonik akan hal itu, buku ini baik sekali dijadikan referensi  bagi siapa saja, terutama bagi warga Indonesia yang baru mau akan tinggal di luar wilayah Indonesia dalam waktu yang cukup lama, dalam bilangan tahun. Pengalaman Nonik dan Tessa bisa menjadi panduan guna mempersiapkan diri lebih baik lagi dan untuk mengambil keputusan yang lebih bijak. Tidak lupa juga kedua saudari sepupuan ini juga menceritakan pentingnya bersandar pada hadirat Tuhan yang ikut andil dalam setiap peristiwa hidup, tentunya bagi Anda yang percaya akan Tuhan. Kisah-kisah ketika Nonik sempat marah kepada Tuhan,  tentang Tessa yang sempat kurang dekat dengan Tuhan, namun Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka, boleh menjadi kesaksian yang menguatkan bagi kita semua, yang percaya adanya campur tangan Tuhan dalam setiap sendi kehidupan kita.


Buat Nonik dan Tessa, sei bravissima! Kiranya kita bisa ketemuan lagi, ya.


Bandung, 8 Februari 2017



Salam,


Linda Cheang

Saturday 28 January 2017

Tur Malam Tahun Baru Imlek 2017

Komunitas Jakatarub Bandung, bekerja sama dengan beberapa tempat ibadah di Jl. Kelenteng dan Jl. Cibadak, kembali menyelenggarakan tur malam Tahun Baru Imlek 2017 pada Jumat malam, 27 Januari 2017 lalu, sebagai upaya mengenalkan tradisi dan budaya Tionghoa di Indonesia dalam menghayati tahun baru, dari masing-masing sudut pandang tradisi dan teologi (Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme Tiongkok).

Tempat-tempat ibadah yang dikunjungi adalah :
1) Kelenteng Gede, (TITD) yaitu Vihara Satya Budi.
2) Vihara Dharma Ramsi (TITD)
3) Kong Miao, tempat ibadah Ajaran Konghucu

4) Vihara Sinar Mulia, tempat ibadah Ajaran Tao (Taoisme)
5) Vihara Tanda Bakti, Buddha Mahayana

Semua tempat ibadah tsb menyambut kami hangat kecuali Vihara Sinar Mulia yang baru akan ada pengurusnya datang untuk ibadah Pk. 23.00, maka tidak ada fotonya. DI lokasi ini peserta hanya sempat diberikan penjelasan sekilas oleh seorang pengurus Jakatarub, tentang ajaran Taoisme dan perbedaannya dengan Konghucu
Tempat yang benar-benar vihara yang benar-benar untuk agama Buddha dan ada biaranya yaitu Vihara Tanda Bakti.

Peserta datang dari berbagai kalangan lintas agama dan kepercayaan. Ada beberapa mahasiswa dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung dari jurusan Perbandingan Agama, ada rekan-rekan pendeta dan umat Kristen. Ada perwakilan dari pemeluk Katolik yaitu Pst. Agustinus Sugiharto, OSC dari KomHAK Keuskupan Bandung, perwakilan umat dari Gereja St. Laurentius termasuk dari Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung, juga beberapa rekan umat Hindu dan bahkan ada perwakilan dari Muslim Tionghoa, diwakili anggota dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), tak lupa warga awam lainnya yang tertarik untuk belajar dari acara ini.
Antusias tinggi dari para peserta yang mungkin beberapa diantaranya baru pertama kali mengunjungi tempat ibadah Tri Dharma dan vihara, yang bernuansa kebudayaan Tionghoa, berkenaan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai perayaan budaya.
Menunjukkan bahwa di Kota Bandung, keberagaman merupakan satu dari sekian sumber kegembiraan pada perayaan budaya. Kiranya dari tur ini, setelah belajar mengenal lebih dekat, bisa sikap toleransi dan kerukunan dari setiap umat beragama akan lebih kokoh lagi di antara warga Kota Bandung.
Senang melihat antusiasnya para peserta yang mungkin beberapa diantaranya baru pertama kali mengunjungi tempat ibadah Tri Dharma, yang bernuansa kebudayaan Tionghoa. Walaupun di akhir acara ada sedikit "kekacauan" lebih karena kurang koordinasi, padahal sekian jumlah peserta sudah dibagai menjadi 4 kelompok agar lebih tertib.
Kiranya tur malam Tahun Baru Imlek yang akan datang akan lebih baik lagi.

1) Kelenteng Gede - Vihara Satya Budhi (Xie Tian Gong)
Lokasi ini menjadi titik kumpul awal bagi seluruh peserta. Jumlah peserta lumayan banyak, di atas 60 orang sehingga untuk menjaga ketertiban, perlu koordinasi.

Pengurus Jakatarub membagi peserta menjadi 4 kelompok agar mudah koordinasinya juga karena alasan pintu masuk di sebuah kelenteng tidak akan memuat ke semua peserta untuk masuk bersama-sama.

 Lampion menyambut yang datang di gerbang Kelenteng Gede 

bagian depan Xie Tian Gong

Patung Jenderal Guan Gong, tuan rumah di kelenteng ini



Pak Sugiri sebagai relawan sejarah, sedang menjawab pertanyaan dari para peserta tur

Kalender gabungan Masehi dan Lunar, termasuk hitungan hari terbaiki, hari baik dan hari buruk.

Foto bersama sebelum  melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat ibadah lainnya

barisan lampion mengiringi para peserta

2) Vihara Dharma Ramsi
Di sini, para peserta masuk bergantian per kelompok. Para peserta pun dijamu dengan menu makanan vegetarian yaitu : bihun goreng, mie goreng, bubur kacang hijau dan ketan hitam serta roti selai kacang




barisan lilin di lokasi Vihara Dharma Ramsi



 Para peserta dijamu dengan makanan vegetarian di bagian belakang vihara.





3) Kong Miao

Para peserta diterima oleh pengurus Kong Miao dan diarahkan langsung ke aula di lantai atas bangunannya, yang ada altar pemujaan Konghucu, untuk mendengarkan penjelasan dan bertanya jawab tentang Ajaran Konghucu atau seputar hal ikhwal Tahun Baru Imlek dengan pengurus Kong Miao.



Perwakilan pengurus Jakatarub dan peserta tur berfoto bersama dengan pengurus Kong Miao dan wakil petugas aparat keamanan yang menjaga tempat ibadah




4) Vihara Tanda Bakti
Vihara ini adalah tempat ibadah yang benar-benar untuk beribadahnya para umat Buddha dari aliran Mahayana dan bangunan viharanya lengkap dengan biara tempat para bhiksu tinggal. Tidak digabung dengan ibadah Ajaran Konghucu dan Ajaran Tao.

Peserta tur terbagi-bagi antara yang mendengarkan penjelasan dari pengurus vihara, dengan yang memilih berkeliling melihat-lihat fasilitas vihara sekalian berswa foto.
Bagi peserta tur yang memerlukan energi tambahan sebelkum pulang, boleh ikut menikmati sajian bajigur, bandrek , ketan bakar sampai nasi soto ayam, dari para pedagang kaki lima yang sengaja disewa oleh pengurus vihara.

Lumayan, saya bisa puas meneguk bajigur hangat sebelum pulang.





itu bukan obat nyamuk bakar, tapi barisan dupa melingkar 






 Penjelasan dari seorang pengurus vihara didampingi seorang pengurus Jakatarub


lonceng dibunyikan menjelang tengah malam,  tanda waktu ibadah Tahun Baru Imlek segera dimulai

Sebelum meninggalkan Jalan Kelenteng, saya sempat mengambil foto kegiatan pasar malam yang diadakan untuk memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek. Ada penjual es serut yang menawarkan hidangan es serut yang tinggi dan banyak, dilumuri sirup dan susu kental coklat. Kelihatannya enak, tapi entahlah, saya hanya memotret, tidak ingin membelinya :D




Sampai jumpa di kegiatan lintas agama lainnya.


SELAMAT TAHUN BARU IMLEK 2568. 


Bandung, 29 Januari 2017
Linda Cheang

Sumber foto :
- Koleksi pribadi
- Budi Yasri
- Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung
- Jakatarub


Keterangan :
Jakatarub : Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama, merupakan sebuah komunitas yang pengurus dan  para anggotanya adalah warga dari lintas agama/kepercayaan.

TITD : Tempat Ibadah Tri Dharma, yaitu tempat ibadah untuk kegiatan ibadah bagi Agama Buddha, Ajaran Konghucu dan Ajaran Tao alias Taoisme.