Saturday 1 December 2012

Sekali Jalan-jalan Tetap Makan-makan : jalan-jalan ( Bagian 1 sub bagian 3)

Dipindahkan dari lindacheang.multiply.com
Posting di Multiply :  23 September 2006

Bagian 1 : Jalan-Jalan sub bagian 3 : Ke Malaysia

Pergi ke Malaysia saya berangkat bersama Bapak Pendeta dari gereja tempat saya beribadah, beliau sebetulnya bertujuan ke Singapura tetapi pakai Air Asia dengan melambung dulu ke KL dan Johor Baru karena airfare-nya Air Asia free of charge. But harus beli tiketnya enam bulan sebelumnya, bo! Penerbangan dari Bandung langsung tujuan Ke Kuala Lumpur, sekalian saya ingin tahu seperti apa “rumah barunya” Air Asia, yaitu Low Cost Carrier Terminal alias LCCT. Karena saya tahu persis, Air Asia tidak mengedarkan makanan untuk diberikan tetapi dijual, maka saya sengaja sarapan yang cukup supaya tidak perlu beli apa-apa di pesawat. Yah, daftar harganya enggak murah-murah amat. Sepotong kue kecil bertabur coklat beras seharga RM 4 (Sekitar Rp 10.000,- kalau kurs RM 1 = Rp 2.500,-) dan sekotak nasi lemak Pak Nasser, dijual seharga RM 8. Wow, mahal, pikir saya. Soal makan, saya setidaknya sudah mengantongi kesempatan makan nasi lemak bersama pasangan saya nanti di KL. Akan saya ceritakan di bagian makan-makan. Saya hanya beli selembar tiket Skybus untuk lanjutkan perjalanan dari LCCT ke KL Sentral seharga RM 9. Saya bayar dengan Rupiah selembar uang limapuluhribuan karena saya tidak bawa RM dalam pecahan kecil tetapi kursnya mahal, masak RM 9 dihargai setara Rp 25.000,-? Seharusnya Rp 25.000,- itu setara RM 10. Yeah, business minded, saya pikir. Saya terima kembaliannya dalam RM sebesar RM 9.

Setiba di LCCT, well, bandaranya memang rapi , teratur tetapi cuaca panasnya, tuh, menyengat!! Kami semua penumpang harus berbaris dalam satu baris dan dan dalam jalur khusus pejalan kaki sejak turun dari pesawat menuju pintu kedatangan dengan diantar seorang pramugari. Lain kali saya harus bawa topi dan kacamata rayban, deh. Namun menurut saya, cara begini memang baik, terbukti tertib, sayang ada seorang penumpang asal Indonesia yang saya lihat memotong barisan karena jalur pejalan kaki kadang harus berbelok, nah, orang ini memotong belokannya dengan berjalan seperti membuat bidang miring pada segitiga siku-siku sama sisi. Saya tahu dia dari Indonesia dari paspor hijau yang dipegangnya. Haiyaaaah! Tiba di kedatangan internasional (di sana ditulis Pintu Ketibaan Antarabangsa) urusan dengan imigrasi lancar meski si bapak petugasnya tidak juga tersenyum, ih, dan saya tunggu bagasi saya sebelum keluar dari bea cukai dan menuju halte Skybus. Oh ya, apa ada teman2 di Malaysia yang bisa berikan informasi, benarkah Air Asia “diusir” dari KLIA karena keuntungan perusahaan penerbangan ini sudah melebihi Malaysia Airlines yang nota bene adalah pemilik KLIA? Saya dengar-dengar saja dari seorang kolega asal KL yang sedang tugas ke kantor pusat Bandung. Memang LCCT hampir sepenuhnya didominasi oleh Air Asia.

Pakai Skybus dari LCCT ke KL Sentral berarti perjalanan satu setengah jam. Bus-nya bus lama, tapi lumayan nyaman, dan sejuk karena ber-AC. Untuk RM 9 sekali jalan saya rasa cukup murah daripada saya transfer lagi ke KLIA dan bayar RM 35 dari KLIA sampai KL Sentral atau kalau pakai taksi harus bayar RM 70. Tiba di KL Sentral, cukup mudah untuk pakai city train menuju mess kantor perwakilan di kawasan Jalan Raja Laut karena petanya tertulis jelas harus pakai kereta mana saja dan harus ganti kereta di mana. Kebetulan saya membawa kartu “Touch n Go” (sama seperti EZ Link kalau di Singapura) pemberian seorang teman chat asal KL, dan saya hari itu saya belajar menggunakannya. Mudah, praktis dan cepat, enggak perlu antri beli tiket. Cukup tempelkan kartu pada mesin pembaca, gagang putar akan mudah dibuka dan jika telah sampai tujuan, tempelkan saja pada mesin pembaca dan biaya akan terkurangi otomatis sejumlah harga tiket yang harus dibayar. Enaknya pakai kartu Touch n Go ini, selain bisa untuk pengganti tiket city train, juga bisa untuk bayar tol dan bayar parkir di tempat umum tertentu serta sudah pasti bisa diisi ulang. Sayang untuk bus-bus Rapid KL masih belum bisa. Menurut bagian customer service-nya, untuk bus Rapid KL sedang dalam tahap pembuatan MoU antara Bus Rapid KL dengan perusahaan pembuat Touch n Go. Coba kalau di Indonesia menggunakan kartu macam begini, mungkin tidak ada lagi banyak penjaga loket dan ini artinya bakal banyak penganguran., Iya, kan? O, yapada kunjungan kali ini saya sengaja sempatkan sedikit waktu untuk ngubek-ngubek KL Sentral karena pasti amat berguna kalau sekiranya saya benar-benar harus pergi sendiri ke mana-mana. So, selama saya bisa menuju KL Sentral, tak akan hilang saya di Semenanjung Malaysia .

Hari kedua di Malaysia saya sengaja sempatkan main ke Genting. Sebuah tempat wisata di ketinggian pegunungan, maaf saya lupa berapa meternya. Saya ke Genting diantar berkendara mobil oleh seorang teman perempuan,asli asal KL. Kami mencoba beberapa permainan di Outdorr Theme Park seperti yang ada di Dunia Fantasi Jakarta. Ada juga beberapa permainan di Indoor Theme park, kemudian teater, dan fasilitas lainnya. Jujur saja, saya lebih menikmati perjalanan dari KL ke Genting daripada permainan yang ada di lokasi, karena jalan berkendara melewati pegunungan menghijau dengan jalan yang berkelok-kelok mirip kalau jalan dari Jakarta ke Puncak tetapi kualitas jalannya jauh lebih bagus. Menurut teman saya yang lain, kawasan wisata Genting adalah milik pribadi seorang taipan Malaysia. Mulai dari jalan menuju Genting sampai semua gedung di Genting adalah milik pribadinya yang dikelola secara komersial. Ada sebuah foto besar taipan ini terpajang di salah satu galeri dalam Hotel Genting. Dan saya dengar juga kalau si pemilik Genting selalu membayar izin kepada Pemerintah Malaysia setiap tiga bulan karena di Genting ini ada dua kasino untuk bermain judi. Benar tidaknya masalah bayar izin ini mungkin teman-teman di Malaysia bisa memberi tanggapan?


Saya dan teman memilih untuk mencoba permainan di Outdoor Theme Park yang fasilitasnya seperti di Dunia Fantasi Jakarta, ada Coaster, ada Swing ada juga permainan yang penumpangnya diangkat tinggi-tinggi lalu kemudian dihempaskan dengan kuat ke bawah, saya lupa nama permainannya. But when the fun is over, it starts boring. Ada beberpa permainan yang mengharuskan bayar lagi untuk menikmatinya, Yah, daripada bayar lagi mending kapan2 saja kalau ada kesempatan saya ke situ lagi. Permainan terakhir saya adalah main kart, yah, hanya diberikan tiga putaran. Kemudian ya, sudah, saya dan teman makan siang bersama sebelum pulang turun ke KL. Sengaja saya ingin makan siang di KFC karena saya ingin merasakan cheese weggez, potongan kentang yang dilapisi lelehan keju, yang di KFC manapun di Indonesia, saya tidak dapat menemukannya. Saya tidak sempat menikmati kereta gantung dari Genting karena cuacanya mendadak berubah dari siang yang bersinar mendadak berkabut untuk kemudian hujan turun. Jadi, tak ada pemandangan pegunungan indah yang bisa dilihat saya dari atas kereta gantung kalau cuaca sedang berkabut dan hujan. Tidak mengapa, saya, pikir, kelak saya berencana ke Genting membawa kakak saya “si putri mahkota” dan pasti saya akan ajak dia naik kereta gantung.

Tentu saya juga sempatkan melihat ke dalam dua kasino, Casino Montreal dan Casino Genting. Lokasi kasino ini terlarang bagi warga Negara Malaysia yang Muslim. Maka di dalam kasino yang terlihat adalah orang-orang dari etnis China, India, dan warga negara lain non Malaysia. Pekerjanya juga tidak ada yang warga Melayu Malaysia. Saat saya mempelajari permainan T’a Siau, (permainan tebak angka besar atau kecil dengan tiga dadu dikocok) saya merasa heran dan tak habis pikir ketika melihat beberapa orang kaya baik pria dan wanita umumnya keturunan Tionghoa, memertaruhkan uangnya tunai sampai ribuan Ringgit (jutaaan Rupiah) di meja judi dan itupun kalah pula. Masih penasaran, terus bertaruh lagi. Belum lagi di permainan roulette, black jack dan jackpot. Sewaktu pertama saya tahu tentang Genting Highland, saya mendengar konon ada seorang pengusaha kaya dari Indonesia yang pernah menang uang banyak dari meja judi di salah satu kasino. Kabaranya pengusaha ini sudah sampai di Bandara Sepang untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya balik lagi ke Genting untuk bertaruh, dan kabarnya lagi, kali ini dia tidak beruntung. Ya, siapa yang tahu benar adanya cerita ini. Entahlah. Yang pasti akan ada sekali-sekali menjadi pemenang judi, saya melihat di kedua kasino, banyak foto dipajang yang menggambarkan pemenang uang tunai dari permainan jackpot, tetapi mata si pemenang dan jumlah uang pada cek-nya selalu ditutup tanda hitam. Mungkin yang jadi pemenang mesti one in a million, dehh.

Hari ketiga di KL, saya mengunjungi keluarganya kolega KL, dan selesai berkunjung saya sengaja menyediakan waktu ke KL Sentral untuk ngubek-ngubek apa saja isinya. Saya menyempatkan mempelajari lagi city train mana saja yang tersedia untuk kelak kalau saya kembali lagi, saya enggak kagok lagi dengan sistem kereta di KL. Demi untuk ngubek-ngubek isi KL Sentral, saya sampai minta pasangan saya “harus rela” menjemput di Starbucks KL Sentral, untunglah si dia mau, padahal lumayan makan waktu untuk dia berkendara dari Petaling Jaya (PJ) ke KL Sentral. Enggak apa-apa, sambil menunggu jemputan, saya menikmati kesendirian saya dengan membaca sebuah artikel bagus soal ulasan film The Da Vinci Code dengan segala kontroversinya, profil tokoh dan para pemerannya (coba kalo tokoh Robert Landon diperankan Mel Gibson daripada Tom Hanks, pasti lebih bagus, tetapi Mel Gibson kabarnya tidak suka The Da Vinci Code), sampai bagaimana cara berhemat bahan bakar kalau berkendara dengan mobil. Sudah jalan-jalan, tambah informasi pula. Kalaupun enggak sempat baca novel dan nonton film The Da Vinci Code, setidaknya saya sudah tahu apa saja yang jadi penyebab kontroversinya.

Hari terakhir di KL, saya pergi sendirian, pasangan saya tidak bisa menemui saya sebab dia harus segera balik ke Singapura. Saya sempatkan mengunjungi Aquaria di Kuala Lumpur Convention Center alias KLCC , Aquaria adalah suatu tempat mirip Sea World di Ancol, Jakarta. Apa yang saya dapatkan dengan membayar tiket masuk RM 38 adalah sebuah CD ROM dan melihat koleksi hewan-hewan darat dan air se-Malaysia dan dunia. Untuk penataan tempat, Aquaria patut diacungi jempol karena saya merasa nyaman berjalan di dalam bangunannya serta ketersediaan souvenir yang sangat memadai baik dari jumlah dan jenisnya. But, telling the truth, untuk koleksi hewan, Sea World Jakarta dengan harga tiket setengah harga tiket Aquaria, masih lebih OK karena punya kolam ikan hiu terbesar, punya ikan duyung, punya ikan pari terbesar se-Asia Tenggara dan ikan-ikan Arapaima Gigas-nya pun lebih besar daripada yang di Aquaria. Sea World punya kolam sentuh untuk bintang laut, dan ikan hiu kecil, Aquauria punya kolam sentuhnya tidak sebesar di Sea World, untuk kerang-kerangan saja dalam koleksi “ Babies born in Aquaria”.

Keluar dari Aquaria, saya balik ke kamar mess karena merasa enggak enak badan. Eh, tapi malamnya saya balik lagi ke KLCC, bersama seorang kolega dari kantor Bandung yang sedang bertugas di Malaysia. Ampuun, deh, kali ini saya menemani dia cari-cari paket bed sheet yang biarpun sudah diskon 70% harganya masih lebih mahal daripada beli di Indonesia. Kalaupun ada harga yang lebih murah, coraknya tidak cocok di hati. Ada-ada ajah. Kami akhirnya hanya ke supermarket untuk cari bahan makanan yang bisa diolah di mess. Bahan makanan yang saya pilih : mie instant buatan Korea. Sebetulnya ada juga Indomie but I want to try another kind of instant noodle. Setelah dicoba ternyata enak juga, gurih, dan lezat.

Baiklah, demi pulang ke Bandung, saya bela-belain bangun jam 3 subuh waktu KL untuk persiapan karena pesawat saya berangkat Pk 07.35 dan saya mencari aman saja, untuk tidak sampai ketinggalan penerbangan, sebab kalau tidak dipakai, tiket pasti hangus, mana penerbangan ke Bandung hanya sekali sehari. Dari mess kantor saya mau tidak mau harus gunakan taksi karena tidak ada city train yang beroperasi mulai Pk 4 pagi. Kereta baru mulai beroperasi Pk 5 pagi. Booking taksi via telepon kata si petugasnya tidak ada taksi yang beroperasi saat itu, akhirnya saya tahu, para supir taksi mematikan alat GPS-nya kalau hari masih subuh. Saat pakai taksi, harus nawar dulu, karena supirnya minta harga 3 kali lipat dari harga argometer resmi yang cuma RM 5 dari kantor ke KL Sentral. Akhirnya si supirnya mau dengan hanya RM 10, diantarkanlah saya sampai ke pintu utama KL Sentral. Di sana, gerai yang buka cuma toko swalayan Seven Eleven dan konter Skybus serta akses ke jalur kereta KTM (Keretapi Tanah Melayu). Lainnya tutup semua. Dari pintu utama KL Sentral mudah mencari Skybus, lurus saja, ada papan penunjuknya yang bisa diikuti kemudian setelah keluar dari pintu yang tepat garis lurus dari pintu utama, tinggal turun pakai escalator menuju tempat Skybus. Lokasi tsb nama jalannya Jalan Stesen Sentral. Cukup dengan RM 9 lagi sekali jalan, saya sudah tiba di LCCT dengan aman dan selamat.

Sedikit cerita dari LCCT, penataannya rapi, banyak konter makanan yang buka 24 jam, tetapi yang enggak rapi itu antrian penumpang saat check in. Semua konter check in yang ada adalah milik Air Asia. Di sini pula saya baru menyadari lemahnya kemampuan beberapa WNI dalam membaca petunjuk. Ada dua orang kawan sebangsa yang menanyakan pada saya pintu terminal mana untuk ke Padang dan ke Surabaya, padahal setelah saya tunjukkan pada boarding pass yang mereka pegang sendiri, semuanya tercantum jelas di sana mulai dari nomor penerbangan, jam keberangkatan, jam check in, pintu terminal yang sudah dilingkari oleh petugas chek in-nya sampai waktu batas akhir boarding. Sungguh saya bingung harus merasa kasihan pada mereka, kawan sebangsa ataukah kesal dan merasa malu karena kawan sewarganya lemah kemampuan membaca petunjuk seperti pada kejadian itu.


Hal yang saya paling nikmati betul setiap saat jalan-jalan adalah : waktu untuk diri sendiri. Saya menikmati benar-benar saat saya sendirian menunggu pasangan saya datang menjemput, denan berkeliling KL Sentral dan setelah lelah, duduk sambil baca koran, atau majalah dan menyeruput kopi hitam dengan sedikit gula. Di sore hari pada suatu hari libur yang cerah di Singapura, saya menunggu pasangan di sebuah lobi hotel sambil baca koran setempat dan suatu hari Sabtu yang cerah juga di KL, saya menikmati betul segelas ukuran regular kopi hitam di Starbucks KL Sentral menunggu pasangan menjemput. Semasa di negeri sendiri, saya nyaris tidak punya cukup kesempatan untuk menyendiri di siang hari sambil menyeruput kopi di kafe karena harus kerja dari Senin sampai Sabtu, kecuali kalau pas hari libur. Hari libur pun kerap kali saya harus berikan waktu saya untuk keponakan saya atau mengantar Mama pergi ke tempat-tempat yang dia mau tuju. Membaca koranpun hanya dapat saya lakukan malam hari menjelang pergi tidur. Maka bisa sendirian sejenak sudah seperti barang mewah buat saya.

Ada hal lain yang menjadi renungan saya dalam setiap kali jalan-jalan. Alam Indonesia jauh lebih indah daripada alamnya negara tetangga, tetapi sayang Indonesia belum bisa mengolah dan menata dengan baik kekayanaan yang dimilikinya sehingga potensinya untuk pariwisata bisa habis terserap negara-negara tetangga.


Masih di Malaysia, 18 – 20 Agustus lalu berkesempatan mengunjungi Johor Bahru , dan Melaka. Selesai check up di rumah sakit pada 18 Agutus, siangnya saya harus ketemu rekan segereja dulu yang belajar di Singapore Bible College untuk menyerahkan bungkusan tas tangan dari mamanya, yang lumayan bikin repot!! Lain kali enggak mau ketitipan lagi, deh kalo enggak bisa masuk koper. Beres serah terima titipan, saya naik bus menuju Queen Street utk lanjut ke JB. Tapi karena hari itu adalah Jumat, yang merupakan weekend, walhasil naik bus yang SBS transit juga padat, mirip kalo naik bus Alun-Alun – Ciburuy. Sampai di Woodlands Check in, alamak, antriannya panjang pisan, belum lagi di Causeway dan di JB-nya. Teman saya yang jemput sampai ngeledek via sms, mau kapan tiba di JB? Sialan.

Akhirnya setelah perjuangan yang melelahkan, naik bus juga sampe berdiri, sempit lagi, senggol-senggolan, tiba pula di Larkin Bus Terminal, saya sempetin dulu beli prepaid card, deh, daripada pake nomer HP SG, mahal. Habis itu jadi, deh a,a rekan asal JB saya dijemput terus check in hotel utk simpen koper dulu. Hotel tempat saya tinggal adalah New York Hotel, di tengah kota JB dan tipe kamar buat saya cukup yang ekonomi saja seharga RM 120 sudah all inn. Selesai simpan koper, tancap gas ke Taman Sri Tebrau, hunting, tuh, Beggar’s Chicken! Saking laparnya, seporsi ayam uth habis oleh saya sendiri, hehehe karena perutnya bisa distel sesuai keperluan. Usai makan, jalan-jalan sebentar putar-putar kiota JB, enggak ada yang bagus, dan balik ke hotel, saya hanya sempat ganti baju tidur lalu langsung gubrak!! Untung masih bisa bangun, pagi dibangunkan alarm, utk mandi sepuas-puasnya. Tidak lupa selesai beres koper, go, breakfast. Supaya enggak rugi karena udah bayar kamar berikut breakfast, sengaja saya lupakan food combining sejenak. Semua makanan yang tersaji yang saya suka saya santap habis kecuali toast, karena saya enggak biasa makan toast. Ada bapau manis isi kacang hijau ada dumpling yang dikemas dalam kotak aluminum foil isinya daging ayam, ada nasi goreng, bubur ayam dan buah-buahan.

Usai breakfast, saya cepat-cepat check out karena kejar bus ke Melaka, sampai di Larkin, wah, yang jam 10 pagi udah keburu pergi, jadi saya harus tunggu yang jam 11. Bersama rekan, saya menyeruput kopi hitam di McD yang di terminal Larkin tsb sampia tiba saatnya naik bus ke Melaka. Busnya sudah lumayan lama tapi masih cukup nyaman untuk duduk, karena jarak antara kursi dibuat lebar dan tiap kursinya diberi foot rest.

Saya berharap JB-Melaka hanya sejam seperti yang diinfo oleh ketua Bikers of Melaka, ternyata perjalanannya 2 setengah jam. Wah encik ketua bener-bener enggak tau situasi, tuh. Yah, daripada melihat pemandangan yang rata-rata kebun kelapa sawit di kiri kanan lebuh raya (jalan tol) saya tidur saja di bus dan bangun setelah bus memasuki pinggiran Melaka. Sepintas kesan saya, kota Melaka itu kecil tetapi asri, bersih, hanya udaranya panas. Tidak sangka menurut Koran New Straits Time, di Melaka ada musibah kebakaran sebuah ruko yang menewaskan seorang Tante dengan 3 keponakannya. Berita itu jadi heboh di Melaka sampai-sampai Datuk dan Datin petinggi Melaka merasa peru mengunjungi orang tua dari 3 anak kecil yang tewas terbakar itu, untuk memberi dukungan moril.

Sudah, saya ga mau ceritakan soal musibah, Kalau di JS ada samsut utk rekan JS yang dari luar negeri pulang ke Indonesia, maka saya disambut oleh Encik Au Kait, Ketua Bikers of Melaka sebagai tamu kehormatan untuk 2006 Melaka Ikan Bakar and Durian Ride, Yeap, soale satu-satunya yang berkewarganegaraan Indonesia dan dari Bandung pula!!

Singkat kata lagi, makan Ikan Bakar dan Makan Duren jadi acara tahunan kelompok ini, dan renananya tahun depan akan dilaksakan pada Juli 2007 pas musim duren.

OK, dehh itu cerita saya sebagai traveller. Dengan jalan-jalan, saya sebagai traveller akan selalu mendapatkan pelajaran dan pengalaman baru.
Sampai jumpa di bagian ke-2 : Makan-makan

Salam dari Bandung

No comments:

Post a Comment