Wednesday 11 March 2015

Menjadi Jurnalis itu... (2)

Rabu, 26 November 2014, janjian wawancaraku dengan Bapak Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, di kediaman resminya Wisma Keuskupan Bandung. Wawancara dilakukan untuk artikel yang dikirimkan ke blog jurnalisme warga, tempat aku menjadi satu dari sekian banyak kontributornya.


Singkat kisah, wawancara berlangsung lancar. Uskup Bandung sangat ramah,  tidak takut tampil jelek dan seringkali kami bahkan tertawa bersama.  Rekaman pakai telepon selularku pribadi lancar jaya tanpa hambatan dan dapat bantuan fotografer yang baik sekali, Nadia Nathania. Pokoknya asyik, lah.










Tapi, keseruan dan kerepotan justru bukan saat di wawancaranya itu. Kerepotan terjadi sebelum dan setelah wawancara.

Sebelum wawancara.

Ada titipan pertanyaan dari pemimpin redaksi untuk ditanyakan kepada Monsi Antonius, mengenai pandangannya akan The West versus The Rest dari Samuel P. Huntington. Akibatnya, pertanyaan tsb, sukses membuatku kelimpungan berhari-hari membaca referensinya yang ditulis hanya dalam English, sehingga ini menjadi tambahan beban buatku. Membaca referensinya berhari-hari termasuk puyengnya berhari-hari juga. melontarkan pertanyaannya di saat wawancara paling hanya beberapa detik, dan Bapak Uskup menjawabnya pun hanya sekitar 2 menit. Pemimpin Redaksi senang dengan jawaban Bapak Uskup, aku yang puyeng, hehehehe.....


Setelah wawancara.

Kerepotannya adalah, menerjemahkan isi rekaman ke dalam transkrip. Tadinya aku berpikir untuk langsung saja ketik dalam MS Words, tapi ternyata karena 1 Personal Computer di rumah harus dipakai berbagi dengan anggota keluarga lainnya, maka aku tulis saja dulu dengan tulisan tangan, dengan tulisan yang macam "cakar ayam" dan kadang aku sendiri suka lupa atau suka nggak bisa baca akan apa yang kutulis, hihihi...





Kerepotan masih belum berakhir! Ada beberapa keterangan tambahan yang harus aku cari mengingat selama wawancara, ada kalanya Monsi Antonius memberikan jawaban berupa keterangan yang tidak sempat aku tanya lebih jauh lagi, jadi aku harus cari sana, cari sini. Mencari dengan bertanya kepada Mbah Google merupakan cara yang paling sering kulakukan untuk melengkapi keterangan.

Tentang Descartes, ketika Monsi hanya mengucapkan dengan ujaran "de-ka-ht", untung saja di masa-masa lalu aku pernah tak sengaja membaca tentang Rene Descartes, filsuf Perancis yang terkenal dengan ucapannya "Corgito Ego Sum" yang artinya aku berpikir maka aku ada. Jika nggak langsung tuning ke Descartes, bisa-bisa bertanya ke Mbah Google pun, tak akan ada gunanya.

Selesai memindahkan isi rekaman menjadi transkrip, tidak juga beres urusan. Transkrip 22 halaman tulisan tanganku yang kecil-kecil, bisa membuat sakit mata yang membacanya, mesti diterjemahkan lagi ke dalam MS Words untuk keperluan penyuntingan artikel agar layak tayang di media tsb.

Akhirnya, setelah penyuntingan selesai, ditambah dan diperbaiki di sana-sini, berharap artikel yang kubuat berdasarkan hasil wawancara bersama Monsi Antonius, tidak cuma sekedar dibaca, tetapi bisa mendatangkan banyak manfaat bagi yang membacanya.


Eitt, tentu saja, setelah mewancarai si narasumber, berfoto bersama itu wajib hukumnya.




Dari foto ini, ada saja beberapa orang yang bilang bahwa Monsi Antonius dan aku seperti kakak dan adik. Iya, sih, kakak dan adik, tapi ketemu gede.... kasih tau, nggak, ya???  :)


Kesimpulannya, menjadi jurnalis itu, ya, nggak enak sebenarnya, karena harus mau dan terpaksa repot, belum tentu bikin terkenal juga. :D


Salam salut dan hormat saya untuk para jurnalis sejati, yang berkarya dalam wawancara , artikel dan pemberitaan. Kalian memang luar biasa!


Simak di sini :
http://baltyra.com/tag/linda-cheang/

No comments:

Post a Comment