Wednesday, 14 October 2015
Friday, 11 September 2015
Istimewanya Misa Basa Sunda, Dibawakan Uskup Bandung
DI suatu Minggu sore ketika aku menumpang ibadah ke Gereja St. Mikael Waringin, ada pengumuman bahwa akan diadakan Misa Basa Sunda di Katedral Bandung pada 23 Agustus 2015 jam 2 siang.
A ha! Suatu hal yang jarang-jarang terjadi apalagi kalau aku nggak salah dengar pengumuman, yang membawakan misanya adalah Uskup Bandung nu ganteng tea, Mgr. Antonius Bunjamin! Ta shi wo de shu shu!
Tapi aku mau datang bukan lantaran siapa yang bawakan misanya, melainkan memang sudah tekad kalau aku mau hadir di Misa Basa Sunda tsb yang diadakan cuma sekali dalam 3 bulan di Keuskupan Bandung. Mau siapapun imam yang membawakannya, sudah pasti ini misa istimewa betul. Istimewa karena mengintekrasikan unsur budaya lokal dalam ibadat resmi. Perkara yang membawakannya jadi Si Bp Uskup ganteng, ah, itu, mah, bonus! Jadi makin istimewalah Misa Basa Sunda ini.
Dekat-dekat harinya, aku ajak beberapa teman dan sukses yang mau datang ada 2, temanku sekelas di kelas Mandarin Si Fang Ing, dan teman dari komunitas lintas agama, Si Sonny. Anehnya, Fang Ing yang petugas di Katedral, malah tidak tahu kalau Misa Basa Sunda tsb akan dibawakan oleh Bp. Uskup.
Tiba harinya misa, aku sengaja datang lebih pagi ke Katedral mengingat bakalan penuh isi kursi katedral kalau benar yang bawakan misa adalah Uskup Bandung. Sebab, emang benar kalau umat datang ke gereja pasti cari Tuhan Yesus Kristus tetapi kalau datang ke misa, carinya Bp. Uskup!
Begitu besar daya tariknya Bp. Uskup Bandung ini, sampai-sampai aku melihat ada beberapa umat yang aku tahu, jarang datang ke misa. Sepertinya Bp. Uskup Bandung yang sekarang, begitu dicintai banyak umat, sampai-sampai umat yang jarang datang misa, rela bersusah payah untuk datang dan rela berdesakan serta kepanasan di dalam gedung Katedral.
Benar saja. Begitu misa jam 12.00 selesai sekira Pk 13.15, aku sudah tiba di belakang katedral sebelum Pk 13.00. Temanku Fang Ing yang jadi petugas di misa jam 12.00 akhirnya bisa ketemu dan ketika kami masuk ke dalam Katedral, ndilalah, kursi di dalam Katedral sudah hampir penuh, untung aku dan Fang Ing masih dapat di sekitar 5 baris kursi depan, bisa lihat mimbar dan altar dengan cukup jelas.
Menjelang mulai misa, Paduan Suara ternyata dari Tim Koor St. Odilia-Cicadas. Seorang ibu yang ternyata dari Paroki Pandu mengomentari kalau si Bapak Dirigennya ganteng, hahahaha, aku cuma bisa senyum sambil menikmati lagu-lagu misa berbahasa Sunda yang terdengar indah ditingkahi iringan Degung Sunda.
Dan, ternyata, rupanya perarakan misa tidak dari pintu depan Katedral melainkan dari pintu sakristi dan jrengggg.......... ternyata betul, Bp. Uskup Bandung, Rama Kanjeng Antonius S. Bunjamin, OSC yang jadi pembawa misa bersama Rama Kanjeng Tarpin, yang sudah jadi Magister Jendralnya OSC sedunia! Wah, ini, sih, namanya dobel bonus!
Tapi Shu shu Antonius, kali ini tampil sederhana sekali, tanpa banyak atribut kayak biasanya kalo dia pimpin misa. Saat itu, dia cuma pakai pileola/solideo tanpa tongkat gembala. Sesungguhnya, penampilan uskup sebagai gembala yang sederhana ini yang enak dilihat karena membumi, nggak kerepotan atribut :)
Misa dimulai dan Rama Kanjeng Antonius mulai bertutur dalam Basa Sunda Lemes. Ada beberapa poin bacaan misa yang dibacakan bergantian dengan Rama Kanjeng Tarpin nu Basa Sunda Lemesna sae pisan. Paduan Suara pun bersama Degung Sunda membawakan lagu-lagu pujian misa dengan enak. Pembacaan Kitab Suci dari Perjanjian Lama (kitab Yosua) dan Injil pun dibawakan dalam Basa Sunda. Ketika tiba waktunya si gembala itu memberikan homilinya, wehehehehehe, Rama Kanjeng Antonius sukses beberapa kali bikin umat tertawa dengan isi homilinya yang lucu namun dibawakan dengan tampang serius. Dalam Basa Sunda tentunya, dan salut kepadanya, membawakan homili pakai Basa Sunda Lemes walau Rama Kanjeng harus membaca dari catatannya supaya tidak salah sebut.
Rama Kanjeng membawakan cerita dengan dialog antara seorang pemuda yang membeli lotek kepada seorang ibu penjual lotek. Lucu, karena lengkap isi lotek disebut, mulai dari kacang sampai cengek, dari mentega sampai jalantah. Pada akhirnya, Rama Kanjeng menegaskan, apapun di kehidupan ini kalau yang penting yaitu Gusti Yesus Kristus tidak ada, maka semuanya tidak berguna, jadi sia-sia.
Bagi umat yang paham Basa Sunda Lemes, pasti sepakat dengan saya bahwa usaha Rama Kanjeng Antonius untuk berbasa Sunda Lemes patut diapresiasi, walau Beliau masih harus banyak belajar lagi dari Rama Kanjeng Tarpin nu Urang Sunda Asli. Pokona, mah, Bravo, ka Rama Kanjeng Antonius! Mugia damang salajengna, saterasna, diberkahan ku Gusti Yesus.
Masih ada bonus lain selepas Misa Basa Sunda tsb. Yaitu acara ramah-tamah, umat sekalian bisa menikmati makanan ringa a la Sunda sepeti Pisang Rebus, Kacang Rebus, Rangginang sampai bisa minum Bajigur lengkap dengan Cangkalengna.
Bonus lain yang aku dapatkan adalah, kesempatan bergambar bersama Uwak Rama Kanjeng Tarpin, sebelum Si Uwak bertugas di Roma.
Di kali itu, aku memang tidak sempat bergambar bersama Rama Kanjeng Antonius yang lagi tumben, hanya pakai crux pectoralis perak, karena selain Rama Kanjeng tsb selalu dikerubuti umat, sampai Beliau mau minum juga mesti ada yang antarkan kepadanya, juga karena lebih penting bisa "tangkap" dulu Uwak Tarpin. Kalau Uwak Tarpin sudah keburu berkantor di Roma, sudah pasti bakal susah menangkapnya, hehehehe...
Bandung, 11 September 2015
A ha! Suatu hal yang jarang-jarang terjadi apalagi kalau aku nggak salah dengar pengumuman, yang membawakan misanya adalah Uskup Bandung nu ganteng tea, Mgr. Antonius Bunjamin! Ta shi wo de shu shu!
Tapi aku mau datang bukan lantaran siapa yang bawakan misanya, melainkan memang sudah tekad kalau aku mau hadir di Misa Basa Sunda tsb yang diadakan cuma sekali dalam 3 bulan di Keuskupan Bandung. Mau siapapun imam yang membawakannya, sudah pasti ini misa istimewa betul. Istimewa karena mengintekrasikan unsur budaya lokal dalam ibadat resmi. Perkara yang membawakannya jadi Si Bp Uskup ganteng, ah, itu, mah, bonus! Jadi makin istimewalah Misa Basa Sunda ini.
Dekat-dekat harinya, aku ajak beberapa teman dan sukses yang mau datang ada 2, temanku sekelas di kelas Mandarin Si Fang Ing, dan teman dari komunitas lintas agama, Si Sonny. Anehnya, Fang Ing yang petugas di Katedral, malah tidak tahu kalau Misa Basa Sunda tsb akan dibawakan oleh Bp. Uskup.
Tiba harinya misa, aku sengaja datang lebih pagi ke Katedral mengingat bakalan penuh isi kursi katedral kalau benar yang bawakan misa adalah Uskup Bandung. Sebab, emang benar kalau umat datang ke gereja pasti cari Tuhan Yesus Kristus tetapi kalau datang ke misa, carinya Bp. Uskup!
Begitu besar daya tariknya Bp. Uskup Bandung ini, sampai-sampai aku melihat ada beberapa umat yang aku tahu, jarang datang ke misa. Sepertinya Bp. Uskup Bandung yang sekarang, begitu dicintai banyak umat, sampai-sampai umat yang jarang datang misa, rela bersusah payah untuk datang dan rela berdesakan serta kepanasan di dalam gedung Katedral.
Benar saja. Begitu misa jam 12.00 selesai sekira Pk 13.15, aku sudah tiba di belakang katedral sebelum Pk 13.00. Temanku Fang Ing yang jadi petugas di misa jam 12.00 akhirnya bisa ketemu dan ketika kami masuk ke dalam Katedral, ndilalah, kursi di dalam Katedral sudah hampir penuh, untung aku dan Fang Ing masih dapat di sekitar 5 baris kursi depan, bisa lihat mimbar dan altar dengan cukup jelas.
Menjelang mulai misa, Paduan Suara ternyata dari Tim Koor St. Odilia-Cicadas. Seorang ibu yang ternyata dari Paroki Pandu mengomentari kalau si Bapak Dirigennya ganteng, hahahaha, aku cuma bisa senyum sambil menikmati lagu-lagu misa berbahasa Sunda yang terdengar indah ditingkahi iringan Degung Sunda.
Dan, ternyata, rupanya perarakan misa tidak dari pintu depan Katedral melainkan dari pintu sakristi dan jrengggg.......... ternyata betul, Bp. Uskup Bandung, Rama Kanjeng Antonius S. Bunjamin, OSC yang jadi pembawa misa bersama Rama Kanjeng Tarpin, yang sudah jadi Magister Jendralnya OSC sedunia! Wah, ini, sih, namanya dobel bonus!
Tapi Shu shu Antonius, kali ini tampil sederhana sekali, tanpa banyak atribut kayak biasanya kalo dia pimpin misa. Saat itu, dia cuma pakai pileola/solideo tanpa tongkat gembala. Sesungguhnya, penampilan uskup sebagai gembala yang sederhana ini yang enak dilihat karena membumi, nggak kerepotan atribut :)
Misa dimulai dan Rama Kanjeng Antonius mulai bertutur dalam Basa Sunda Lemes. Ada beberapa poin bacaan misa yang dibacakan bergantian dengan Rama Kanjeng Tarpin nu Basa Sunda Lemesna sae pisan. Paduan Suara pun bersama Degung Sunda membawakan lagu-lagu pujian misa dengan enak. Pembacaan Kitab Suci dari Perjanjian Lama (kitab Yosua) dan Injil pun dibawakan dalam Basa Sunda. Ketika tiba waktunya si gembala itu memberikan homilinya, wehehehehehe, Rama Kanjeng Antonius sukses beberapa kali bikin umat tertawa dengan isi homilinya yang lucu namun dibawakan dengan tampang serius. Dalam Basa Sunda tentunya, dan salut kepadanya, membawakan homili pakai Basa Sunda Lemes walau Rama Kanjeng harus membaca dari catatannya supaya tidak salah sebut.
Rama Kanjeng membawakan cerita dengan dialog antara seorang pemuda yang membeli lotek kepada seorang ibu penjual lotek. Lucu, karena lengkap isi lotek disebut, mulai dari kacang sampai cengek, dari mentega sampai jalantah. Pada akhirnya, Rama Kanjeng menegaskan, apapun di kehidupan ini kalau yang penting yaitu Gusti Yesus Kristus tidak ada, maka semuanya tidak berguna, jadi sia-sia.
Bagi umat yang paham Basa Sunda Lemes, pasti sepakat dengan saya bahwa usaha Rama Kanjeng Antonius untuk berbasa Sunda Lemes patut diapresiasi, walau Beliau masih harus banyak belajar lagi dari Rama Kanjeng Tarpin nu Urang Sunda Asli. Pokona, mah, Bravo, ka Rama Kanjeng Antonius! Mugia damang salajengna, saterasna, diberkahan ku Gusti Yesus.
Masih ada bonus lain selepas Misa Basa Sunda tsb. Yaitu acara ramah-tamah, umat sekalian bisa menikmati makanan ringa a la Sunda sepeti Pisang Rebus, Kacang Rebus, Rangginang sampai bisa minum Bajigur lengkap dengan Cangkalengna.
Bonus lain yang aku dapatkan adalah, kesempatan bergambar bersama Uwak Rama Kanjeng Tarpin, sebelum Si Uwak bertugas di Roma.
Di kali itu, aku memang tidak sempat bergambar bersama Rama Kanjeng Antonius yang lagi tumben, hanya pakai crux pectoralis perak, karena selain Rama Kanjeng tsb selalu dikerubuti umat, sampai Beliau mau minum juga mesti ada yang antarkan kepadanya, juga karena lebih penting bisa "tangkap" dulu Uwak Tarpin. Kalau Uwak Tarpin sudah keburu berkantor di Roma, sudah pasti bakal susah menangkapnya, hehehehe...
Bandung, 11 September 2015
Monday, 15 June 2015
Busyet, deh! - Kerja dan Pekerjaan
Busyet, deh, kerjaan gua banyak bener hari ini!
Itu adalah umpatanku spontan ketika menyadari bahwa di hari itu sudah ada daftar pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
Menjawab pesan klien, mengurus pekerjaan rumah tangga, membaca ulang revisi, sampai membuat revisi makalah untuk presentasi di sebuah kelas.
Namun aku masih lebih baik kondisinya. Di suatu hari Minggu selepas saya pulang ibadah, saya diberitahu oleh mam bahwa akan ada 2 orang pekerja yang akan datang mengambil dan menimbang barang rongsokan yang akan dijual per kilogram. Rongsokan berupa kumpulan barang-barang pernak-pernik otomotif peninggalan Alm. Papa dan kami sekeluarga memang sudah tak bisa mengunakannya lagi.
Dua orang pekerja tsb bekerja mulai Pk 10.00 dan harus istirahat pada tengah hari karena ternyata barang yang dipindahkan amat banyak. Disambung lagi selepas istirahat yang cukup panjang, akhirnya mereka berhenti setelah sekitar 2 jam bekerja karena kelelahan. Seorang pekerja bahkan mengaku sudah mulai demam karena barang yang sangat bejibun yang harus diangkatnya. Apalagi menurut pengakuannya, dia semalam sebelumnya bekerja lembur di sebuah toko roti.
Kedua pekerja tsb mendapatkan upah yang cukup besar bagi mereka di hari itu yang tidak mencapai 8 jam kerja. Ditambah uang untuk makan siang dan segelas Teh Mahkota Dewa Hangat unbtuk si pekerja yang demam. Keponakanku yang lelaki turut bekerja dan tentu diapun dapat upah dari kami.
Aku menyoroti si pekerja yang demam karena kelelahan bekerja. Seorang laki-laki berperawakan sedang, etnis Jawa, usia sekitart 30-an tahun dan pendidikannya anggaplah lulus SMA. Melihatnya bekerja keras sampai segitu kerasnya demi mencari nafkah untuk keluarganya, aku salut padanya karena dia menyadari hanya tenaga yang dia punya dan dia gunakan tenaganya untuk bekerja, dengan tanpa merasa malu atau rendah diri dengan pekerjaan kasar menjadi kuli barang rongsokan. Pun demikian dia bekerja dengan semangat dan aku yakin jika dia tidak demam atau keburu kelelahan karena banyak barang rongsokan, tentu dia mau saja bekerja lebih lama lagi.
Kami sekeluarga tidak kaku menerapkan aturan jam kerja yang harus zakelijk kepada dua pekerja tsb karena kami sadar, barang yang harus diangkut amat banyak dan kami juga harus memikirkan kondisi para pekerja itu. Sekian jam berlalu dan barang-barang di garasi Alm. Papa kami masih sangat banyak yang belum dipindahkan. Kami akhirnya sepakat bahwa kedua pekerja dan keponakan kami untuk berhenti sebelum petang menjadi gelap dan mereka akan datang kembali melanjutkan pekerjaan di hari yang sudah disepakati.
Di satu sisi, memang kami jadi sedih melihat barang-barang peninggalan Papa akhirnya hanya dijadikan barang rongsokan karena berbagai alasan, namun mengingat bahwa di luar sana barang rongsokan pun bisa memberi rejeki bagi orang lain, itu sedikit melegakan kami.
Si pekerja dan aku bila dibandingkan memang jauh, lah. Aku jauh lebih beruntung saat ini aku punya pekerjaan yang kubuat sendiri walau skalanya masih usaha mikro, tetapi sudah membuatku enak dengan waktu pekerjaan yang bisa aku tentukan sendiri. Aku bisa libur atau cuti kapanpun aku mau, dan akulah atasan atas diriku sendiri. Penghasilanku juga jelas lebih banyak daripada besaran upah yang didapat si pekerja kuli rongsokan itu karena aku menggunakan segala yang kupunya untuk mendukung pekerjaanku. Pokoknya sekarang aku bisa mengatur apapun pekerjaanku dengan ujung jari-jariku. Aku melakukan hal-hal yang kusukai dan itu bisa menghasilan pendapatan. Akupun masih bisa memberi dukungan untuk Mama yang sekarang mengambil alih semua urusan pekerjaan Papa yang ditinggalkan. Betapa aku ini beruntung dan aku bersyukur untuk itu.
Tentu ada pelajaran berharga yang bisa kutimba dari para pekerja kuli rongsokan tsb, Pekerjaan halal apapun yang dilakukan dengan hati tulus dan kesadaran sesadar-sadarnya untuk menafkahi keluarga, merupakan perjuangan yang harus dilakukan dan layak jika kelak mendapatkan keberuntungan. Setiap orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, apapun pekerjananya selama halal dan tidak menentang kebenaran, plus hidup dengan baik (tidak munafik) aku percaya, rejeki dan keberuntungan datang melimpah itu bukan perkara mustahil.
Maka tentu bisa dimaklumi kalau aku suka kesal mendapati orang-orang muda yang justru mau gampangnya saja, mau cari pekerjaan enak dengan pendapatan besar tapi nggak mau susah. Duh! Apalagi ditambahi alasan : gengsi, dong!
Tak banyak orang tahu untuk mencapai kondisi enak seperti sekarang, aku memulainya dari bawah sekali, dengna modal dengkul, aku pernah berjualan a la pedagang kaki lima di sebuah taman besar Kota Bandung, merasakan seretnya pemasukan dari penjualan yang berkeliling. Belum lagi pernah dikerjai pembeli, dicerca klien yang agak psikopat dan sederet peristiwa negatif yang bisa bikin aku menangis karena sedih, namun pengalaman tsb membuatku semakin kaya akan rona kehidupan.
Kerja keraslah jika ingin jadi orang sukses karena tidak pernah ada sukses itu dengan cara instan. Apalagi pakai mengeluh dan gengsi. Sukses itu kadang mesti diraih dengan cucuran darah, keringat dan air mata lebih dulu, maka kalau ada pekerjaan yang menawarkan kemudahan impian-impian kayak mengawang-ngawang, koq, rasanya kenyataan hidup taklah seindah di awang-awang gitu, ya?
Bagi siapapun yang membaca tulisanku ini yang bekerja keras cara halal di jalan kebenaran, dengan hati yang tulus, bersemangat, apalagi berani tidak gengsi, aku harapkan rejeki dan keberuntungan segera datang untuk Anda. Sang Pencipta Yang Mahakuasa memberkati kita semua yang bekerja dengan benar.
Busyet, deh, hari gini masih ada yang manja nggak mau kerja dan masih gengsi dengan jenis pekerjaan kasar? :P
Itu adalah umpatanku spontan ketika menyadari bahwa di hari itu sudah ada daftar pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
Menjawab pesan klien, mengurus pekerjaan rumah tangga, membaca ulang revisi, sampai membuat revisi makalah untuk presentasi di sebuah kelas.
Namun aku masih lebih baik kondisinya. Di suatu hari Minggu selepas saya pulang ibadah, saya diberitahu oleh mam bahwa akan ada 2 orang pekerja yang akan datang mengambil dan menimbang barang rongsokan yang akan dijual per kilogram. Rongsokan berupa kumpulan barang-barang pernak-pernik otomotif peninggalan Alm. Papa dan kami sekeluarga memang sudah tak bisa mengunakannya lagi.
Dua orang pekerja tsb bekerja mulai Pk 10.00 dan harus istirahat pada tengah hari karena ternyata barang yang dipindahkan amat banyak. Disambung lagi selepas istirahat yang cukup panjang, akhirnya mereka berhenti setelah sekitar 2 jam bekerja karena kelelahan. Seorang pekerja bahkan mengaku sudah mulai demam karena barang yang sangat bejibun yang harus diangkatnya. Apalagi menurut pengakuannya, dia semalam sebelumnya bekerja lembur di sebuah toko roti.
Kedua pekerja tsb mendapatkan upah yang cukup besar bagi mereka di hari itu yang tidak mencapai 8 jam kerja. Ditambah uang untuk makan siang dan segelas Teh Mahkota Dewa Hangat unbtuk si pekerja yang demam. Keponakanku yang lelaki turut bekerja dan tentu diapun dapat upah dari kami.
Aku menyoroti si pekerja yang demam karena kelelahan bekerja. Seorang laki-laki berperawakan sedang, etnis Jawa, usia sekitart 30-an tahun dan pendidikannya anggaplah lulus SMA. Melihatnya bekerja keras sampai segitu kerasnya demi mencari nafkah untuk keluarganya, aku salut padanya karena dia menyadari hanya tenaga yang dia punya dan dia gunakan tenaganya untuk bekerja, dengan tanpa merasa malu atau rendah diri dengan pekerjaan kasar menjadi kuli barang rongsokan. Pun demikian dia bekerja dengan semangat dan aku yakin jika dia tidak demam atau keburu kelelahan karena banyak barang rongsokan, tentu dia mau saja bekerja lebih lama lagi.
Kami sekeluarga tidak kaku menerapkan aturan jam kerja yang harus zakelijk kepada dua pekerja tsb karena kami sadar, barang yang harus diangkut amat banyak dan kami juga harus memikirkan kondisi para pekerja itu. Sekian jam berlalu dan barang-barang di garasi Alm. Papa kami masih sangat banyak yang belum dipindahkan. Kami akhirnya sepakat bahwa kedua pekerja dan keponakan kami untuk berhenti sebelum petang menjadi gelap dan mereka akan datang kembali melanjutkan pekerjaan di hari yang sudah disepakati.
Di satu sisi, memang kami jadi sedih melihat barang-barang peninggalan Papa akhirnya hanya dijadikan barang rongsokan karena berbagai alasan, namun mengingat bahwa di luar sana barang rongsokan pun bisa memberi rejeki bagi orang lain, itu sedikit melegakan kami.
Si pekerja dan aku bila dibandingkan memang jauh, lah. Aku jauh lebih beruntung saat ini aku punya pekerjaan yang kubuat sendiri walau skalanya masih usaha mikro, tetapi sudah membuatku enak dengan waktu pekerjaan yang bisa aku tentukan sendiri. Aku bisa libur atau cuti kapanpun aku mau, dan akulah atasan atas diriku sendiri. Penghasilanku juga jelas lebih banyak daripada besaran upah yang didapat si pekerja kuli rongsokan itu karena aku menggunakan segala yang kupunya untuk mendukung pekerjaanku. Pokoknya sekarang aku bisa mengatur apapun pekerjaanku dengan ujung jari-jariku. Aku melakukan hal-hal yang kusukai dan itu bisa menghasilan pendapatan. Akupun masih bisa memberi dukungan untuk Mama yang sekarang mengambil alih semua urusan pekerjaan Papa yang ditinggalkan. Betapa aku ini beruntung dan aku bersyukur untuk itu.
Tentu ada pelajaran berharga yang bisa kutimba dari para pekerja kuli rongsokan tsb, Pekerjaan halal apapun yang dilakukan dengan hati tulus dan kesadaran sesadar-sadarnya untuk menafkahi keluarga, merupakan perjuangan yang harus dilakukan dan layak jika kelak mendapatkan keberuntungan. Setiap orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, apapun pekerjananya selama halal dan tidak menentang kebenaran, plus hidup dengan baik (tidak munafik) aku percaya, rejeki dan keberuntungan datang melimpah itu bukan perkara mustahil.
Maka tentu bisa dimaklumi kalau aku suka kesal mendapati orang-orang muda yang justru mau gampangnya saja, mau cari pekerjaan enak dengan pendapatan besar tapi nggak mau susah. Duh! Apalagi ditambahi alasan : gengsi, dong!
Tak banyak orang tahu untuk mencapai kondisi enak seperti sekarang, aku memulainya dari bawah sekali, dengna modal dengkul, aku pernah berjualan a la pedagang kaki lima di sebuah taman besar Kota Bandung, merasakan seretnya pemasukan dari penjualan yang berkeliling. Belum lagi pernah dikerjai pembeli, dicerca klien yang agak psikopat dan sederet peristiwa negatif yang bisa bikin aku menangis karena sedih, namun pengalaman tsb membuatku semakin kaya akan rona kehidupan.
Kerja keraslah jika ingin jadi orang sukses karena tidak pernah ada sukses itu dengan cara instan. Apalagi pakai mengeluh dan gengsi. Sukses itu kadang mesti diraih dengan cucuran darah, keringat dan air mata lebih dulu, maka kalau ada pekerjaan yang menawarkan kemudahan impian-impian kayak mengawang-ngawang, koq, rasanya kenyataan hidup taklah seindah di awang-awang gitu, ya?
Bagi siapapun yang membaca tulisanku ini yang bekerja keras cara halal di jalan kebenaran, dengan hati yang tulus, bersemangat, apalagi berani tidak gengsi, aku harapkan rejeki dan keberuntungan segera datang untuk Anda. Sang Pencipta Yang Mahakuasa memberkati kita semua yang bekerja dengan benar.
Busyet, deh, hari gini masih ada yang manja nggak mau kerja dan masih gengsi dengan jenis pekerjaan kasar? :P
Sunday, 14 June 2015
Puskesmas UPT Garuda - Bandung, 13 Juni 2015
Pagi itu sekitar Pk 06.00 lewat, aku sudah tiba di Puskesmas UPT Garuda, ke Poli Gigi untuk keperluan penambalan gigi 1 6 yang tambalannya copot. Tentu aku juga siapkan kamera HPku untuk merekam apapun yang akan kutemui berkaitan dengan antrean khusus nomor untuk daftar Poli Gigi. Tujuannya untuk diunggah ke grup Netizen PRFM.
Tumben, aku tidak menemukan antrean orang yang biasanya sudah banyak untuk Poli Gigi. Ternyata sistem ambil nomornya sudah diganti. Para pengantre tidak harus mengalami lagi HOROR rebutan nomor antrean yang biasa disediakan dengan mesin. HOROR ini yang selalu kuadukan ke Grup Facebook Netizen PRFM dan rupanya setelah sekira 2 bulanan aku tidak ke Puskesmas ini lagi, ternyata sudah berganti sistem antrean. Berarti keluhanku dan keluhan beberapa warga lainnya melalui grup tsb sudah ada yang menanggapi.BRAVO!
Khusus Poli Gigi, antrean diatur untuk ambil nomor antrean di Loket 4, loketnya dibuka tepat Pk 07.00 dan sudah ada seorang petugas (seperti Satpam) yang mencatat para pendaftar untuk ambil nomor antrean. Walau belum 100% mengikis FIRST SEROBOT FIRST GET, karena di lajur antrean masih ada saja orang yang menyerobot untuk duluan antre di depan loket, padahal ada yang sudah datang lebih pagi dari si penyerobot, tapi cara begini memang terbukti efektif sangat mengurangi horor rebutan karcis antrean.
Petugas mencatat nama dan asal pasien yang khusus ke Poli Gigi saja, jika sepertiku yang pakai kartu BPJS, ditanyakan kelurahan asal domisiliku. Poli yang lain yaitu Poli Anak, Poli Umum dan Poli Lansia, dengan antrean tak seluarbiasa banyaknya seperti antrean Poli Gigi, maka bisa ambil sendiri nomor antrean di kotak yang disediakan di tempat yang sebelumnya untuk menaruh mesin karcis.
Rupanya setelah para pendaftar tadi mendapatkan nomor antrean Poli Gigi, masih harus melakukan daftar ulang untuk dicatat pada sistem administrasi Puskesmas. Nomor pada karcis tadi berguna untuk menentukan pemanggilan urutan pendaftaran.
Di loket pendaftaran tampak 3 orang petugas pencatat untuk pendaftaran ulang data pasien yang akan berobat sesuai tujuan polinya. Problem yang muncul saat pendaftaran ualgn adalah, ada saja pasien baru yang tidak menyiapkan data diri untuk pendaftaran, atau tidak menunjukkan kartu berobatnya. Hingga waktu yang dibutuhkan petugas untuk mencatat, jadi makin lama dan makin memperpanjang antrean. Belum lagi ulah beberapa pasien dengan nomor atrean yang masih jauh, tidak mau duduk tenang menunggu dipanggil tetapi malah ikut berdesakan di depan loket, berharap bisa "serobot" mendaftar.
Hal bergantinya sistem antrean khusus Poli Gigi ini, saya perlu berikan apresiasi tinggi kepada semua petugas di Puskesmas ini yang sudah berani membuat terobosan. Walaupun demikian, tetap saja usaha untuk memberi edukasi kepada warga untuk tertib antre harus terus-menerus dilakukan.
Ada satu hal lagi yang jadi perhatian saya, yaitu masalah kebersihan toiletnya. Di dinding arah masuk ke area toilet memang terpasang tulisan seperti ini :
ALAS KAKI HARAF DILEPAS
Iya, benar, tulisannya adalah "haraf" bukan harap", tetapi bila melihat ke dalam area toilet yang kondisinya kotor, berbau dan wastafelnya yang sudah rusak, aku yakin siapapun tak akan rela untuk melepas alas kakinya jika ada keperluan untuk menggunakan toilet di Puskesmas ini.
Di area toilet memang ada peralatan kebersihan yang minim seperti sikat untuk kloset jongkok, pel lantai yang kotor, tempat sampah yang tanpa tutupnya, tetapi tidak ada cairan pembersihnya.
Minta tolong kepada dinas terkait, agar kebersihan area toilet di Puskesmas ini juga bisa diperhatikan. Tentu bersamaan dengan pemberian edukasi kepada warga yang menggunakan toilet ini.
*************************************
Saturday, 13 June 2015
ILAH UANG - Gods at War, Kyle Idleman, Bab 9
Dipresentasikan pada kelas Extension Course Filsafat UNPAR, 12 Juni 2015
"Perkenalkan: Namaku adalah UANG ! Orang
Barat menyebutku MONEY...."
Wajahku biasa saja, fisikku juga lemah, namun
aku mampu merombak tatanan dunia. Aku
juga "bisa" mengubah 'Perilaku bahkan
sifat Manusia' karena manusia mengidolakan aku.
Banyak orang berubah kepribadiannya,
mengkhianati teman, menjual tubuh, bahkan meninggalkan keyakinan imannya, demi
aku!
Aku tidak mengerti perbedaan orang saleh dan
bejat, tapi manusia memakai aku menjadi patokan derajat, menentukan kaya
miskin, terhormat atau terhina. Aku bukan iblis, tapi sering orang melakukan
kekejian demi aku.
Aku juga bukan orang ketiga, tapi banyak suami
istri pisah gara-gara aku. Anak dan orang tua berselisih gara-gara aku.
Sangat jelas juga aku bukan Tuhan, tapi manusia
menyembah aku seperti Tuhan, bahkan kerap kali hamba-hamba Tuhan lebih
menghormati aku dari pada Tuhan, padahal Tuhan sudah pesan jangan jadi hamba
uang ...
Seharusnya aku melayani manusia, tapi kenapa
malah manusia mau jadi budakku?
Aku tidak pernah mengorbankan diriku untuk
siapa pun, tapi banyak orang rela mati demi aku.
Perlu aku ingatkan, aku hanya bisa menjadi alat
bayar resep obat anda, tapi tidak mampu memperpanjang hidup anda.
Kalau suatu hari anda di panggil Tuhan, aku
tidak akan bisa menemani anda, apalagi menjadi penebus dosa-dosa anda. Anda
harus menghadapi sendiri dengan sang Pencipta lalu menerima penghakimanNYA ...
Saat itu, Tuhan pasti akan hitung-hitungan
dengan anda, APAKAH SELAMA HIDUP ANDA MENGUNAKAN aku dengan baik, atau
sebaliknya MENJADIKAN aku sebagai TUHAN?
Ini informasi terakhirku : "AKU TIDAK ADA
DI SURGA ! Jadi jangan cari aku di sana ya ..." (fr.jclairine)
September
2008, ilah (uang) mati.
Uang
Yang Mahakuasa
Di
masa lalu, uang dikenal sebagai alat tukar dalam bentuk : kulit kerang, kain,
kepala hewan, gading gajah, dll yang bisa dibarter. Kemudian manusia semakin
maju peradaban, mjulai dikenal sebagai perak, emas dan sebangsanya. Hari-hari
ini uang dikenal dalam bentuk uang logam, lembaran uang kertas, surat berharga,
port folio, sampai ke bentuk uang plastik dan e-money bahkan virtual
money.
Uang
selalu menjadi sesosok ilah dan kekuatannya semakin bertambah seiring majunya waktu,
sebelum ia sakit dan mati.
Dunia
berubah, demokrasi melahirkan banyak kesempatan di Barat, uang menjadi bintang
impian. Ketika manusia bicara tentang “pengejaran akan kebahagiaan”, ilah uang
berpikir dirinya yang dimaksud dengan
kebahagiaan itu.
Contoh
tentang Impian Amerika, seorang jelata yang semula miskin menjadi taipan kaya.
Dari yang bukan siapa-siapa menjadi sesiapa. Dari orang tak dikenal menjadi
pendiri kerajaan bisnis.
Uang
menjadi amat dominan dalam kehidupan, sehingga sulit bagi kita menjauh darinya
demi perspektif yang jernih. Ketika uang serasa tidak penting, nyatanya uang
merupakan impian puncak bagi banyak orang.
Mark
Twain menulis ,” Beberapa orang memuja jabatan, memuja tokoh dunia, memuja
Allah, dan demi semua cita-cita itu, mereka bertarung dan tidak dapat bersatu.
Tapi sebenarnya mereka semua pemuja uang.”
Uang
akhirnya menjadi pesaing Tuhan di hati kita, Masalahnya bukan pada
uangnya,karena uang bukan akar dari kejahatan
tapi pada cinta akan uanglah akar dari segala kejahatan. Uang itu
netral secara moral. Juga bukan sesuatu yang buruk pada dan dalam dirinya
sendiri, namun dia berpotensi menjadi sesembahan pengganti Tuhan
Contoh
Kasus Seorang Pialang Wall Street
Frank
Simmons, berasal dari keluarga biasa, selalu memikirkan karir masa depannya
apapaun ayng bisa menghasilkan banyak uang. Sempat ingin kuliah kedokteran
bukan untuk membantu sesama, namun karena profesi dokter menghasilkan banyak
uang, akhirnya mernjadi pialang saham di Wall Street.
Membangun
keluarga di tahun ketiga kuliahnya sembair bekerja 14 jam sehari. Di rumah pun
kegiatannya adalah mengurus investasinya. Ketika berhasil memiliki perusahaan
sendiri, dia menjadi market timer dan tahu apa saja yang akan jadi trend
pasar. Kadang-kadang beribadah, tapi demi supaya dilihat oleh klien, bukan
untuk mencari kepuasan spiritual.
Di
usia 40 tahun menjadi miliarder yang berhasil dari hasil usahanya sendiri.
Kemudian dengan kemajuan internet, Frank semakin menghasilkan banyak uang yang
membuatnya sanggup unutk membeli banyak properti di Naples, Prancis.
Pada
satu tengah malam, mengendarai Mercedes miliknya pulang dari kantor menuju
rumahnya di satu jalanan menikung, Frank
berbelok sedikit terlampau kencang. Ketika Frank ditemukan beberapa jam
berikutnya, Frank sudah dalam keadaan mati. Kematiannya menjadi berita besar di
Wall Street Journal dan diberi julukan sebagai visioner dan pencipta trend,
serta hidupnya digambarkan sebagai contoh hidup yang meraih impian orang Amerika.
Sementara
di bumi dikenang sebagai suatu kisah sukses besar, Frank berdiri di hadapan
Penciptanya, berusaha memberikan resume baik akan hidupnya. Dengan segala
perolehan sebagai pelaku industri, punya port folio bagus, namun Sang Pencipta
tidak terkesan dengan semua yang dimiliki Frank seperti semua mobil, vila,
atau perusahaan yang dibuatnya.
Contoh
hidup manusia Frank Simmons ini berabad sebelumnya oleh John Tillotson¹,
dikatakan seperti ini,” Ia yang memelihara hidupnya di sini, tetapi tidak
memelihara hidupnya demi masa kekekalan adalah orang bijak untuk waktu yang
singkat, tetapi orang bodoh untuk waktu yang abadi,”
Rumus 3 M 1 H
MENGAPA
SAAT INI KITA SELALU MENGUKUR KEBERHASILAN DARI HARTA DAN UANG ?
錢不是萬能,
沒
錢
萬萬不能
Qián bù shì wàn néng, méi qián
wàn wàn bù néng
Ini
semua tak lepas dari nasehat yang diberikan orang tua pada anaknya sejak kecil.... yang pada intinya adalah bahwa kebahagiaan itu
identik dengan uang. Sehingga setiap anak ketika besar berlomba-lomba
untuk mendapatkan uang meskipun dari hal-hal yang tidak baik dan benar.
Berikut
adalah sebuah gambar yang dibuat oleh salah seorang peserta seminar tentang
nasehat orang tua pada umumnya kepada anak mereka. yang menggunakan rumus 3 M 1
H atau Money, Money, Money, Happy
Apakah
kita masih melakukannya pada anak-anak kita saat ini ?²
Atribut
Ilahi dari Uang
1 1. Sumber Rasa
Aman.
Punya banyak uang = rasa aman. Ketika sakit, ekonomi memburuk, asal
punya banyak uang berarti tidak perlu kuatir
2. Sumber Kepuasan
Ada uang, berarti bisa mengurus diri
sendiri, bisa memenuhi semua kebutuhan sendiri,
tidak tergantung pada apapun
termasuk pada Tuhan
3. Sumber Nilai Diri
Memiliki uang yang cukup untuk mampu
beli barang bermerek, mobil baru, membiayai
hobi mahal. Nilai diri ditentukan
oleh semua yang bisa dibeli oleh uang.
Tanda
Pengenal Status Keberhalaan Uang
·
Seberapa
sering Anda bandingkan antara apa yang Anda miliki dengan seberapa banyak yang
Anda berikan kepada orang lain?
1)
Apakah Anda
puas dengan gaji Anda?
2)
Apakah Anda
mendapati diri Anda berspekulasi tentang gaji rekan atau pesaing
Anda?
3)
Apakah Anda
marah ketika mendapati bahwa jumlah gaji yang Anda terima
tidak setara dengan nilai diri Anda?
Jika
terjadi demikian, maka ini adalah indikasi bahwa uang telah menjadi ilah
dalam hidup Anda
·
Seberapa besar
kegelisahan yang diakibatkan oleh kondisi keuangan dalam hidup Anda?
1)
Jika Anda bisa
memberikan peringkat pada hal yang mencetuskan stress paling
kuat dalam diri Anda, di peringkat
berapa uang berada?
2)
Bagaimana
posisi uang bila dibandingkan dengan hal-hal seperti : kesehatan,
relasi dan pekerjaan?
3)
Bisakah Anda
mengucap syukur dan merasa puas, bahkan di tengah kesulitan
finansial yang Anda Alami?
·
Sejauh mana
impian dan tujuan hidup Anda digerakkan oleh uang?
1)
Apakah
impian-impian Anda melibatkan kekayaan dan kemewahan?
2)
Apakah itu
adalah kebebasan yang akan Anda nikmati untuk mengejar tujuan baru dengan waktu
yang Anda miliki?
3)
Apakah itu
kesempatan untuk member dan membangun hal-hal baru?
4)
Apakah itu
merupakan perasaan bahwa penting bagi Anda menjadi orang kaya?
·
Bagaimana
sikap Anda dalam memberi?
1)
Emosi apa yang
Anda rasakan ketika Anda memberi? Terganggukah Anda?
2)
Pernahkah Anda
berpikir jumlah yang paling sedikit yang bisa diberikan?
3)
Pernahkah Anda
bersukacita dan menemukan inspirasi dalam menggunakan keuangan Anda untuk
membantu orang lain?
Bagaimana
mencegah uang menjadi ilah di dalam hidup kita?
1.
Memberikan
uang = menghancurkan kekuatan uang. Itu seperti Anda berkata kepada uang ,” Aku
bahkan tak peduli denganmu. Kau begitu tidak penting bagiku sehinhgga aku dapat
dengan mudah melepaskanmu,”. Cara memberi seperti itu akan menghancurkan
berhala uang.
2.
Uang tidak
tahan ketika Anda menganggapnya tidak penting. Jika Anda ingin memahami
seberapa pentingnya uang bagi Anda, mulailah memberi.
***************************************************************
¹Uskup
Agung Canterbury, Inggris, 1691 – 1694
²Rahasia
Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak – Komunitas Ayah Edy, Noura Books, February 2014
Monday, 8 June 2015
Bapak Uskup Bandung - Gambarnya yang Membumi
Di banyak tempat di wilayah Keuskupan Bandung, dipasang gambar Beliau dalam pakaian kebesaran uskup, berupa atribut pakaian jubah kebesaran emas lengkap dengan mitra bertatahkan lambang keuskupannya di kepalanya dan tongkat gembala di tangan kirinya, sementara tangan kanannya terangkat memberi berkat.
Sejujurnya aku kurang terkesan dengan gambar resmi Beliau yang seperti itu, karena biasanya di sebelah gambar Bapak Uskup, ada gambar Sri Paus Fransiskus dengan pakaian kepausannya putih saja sederhana dengan pileola putih di kepalanya, kalung salib perak, dan satu tangannya terangkat sedang memberkati, tanpa atribut mitra dan jubah kebesaran, apalagi tongkat gembala. Kesannya antara kedua pribadi pemimpin itu, malah tidak imbang begitu. Sepertinya uskupnya "lebih heboh" daripada pausnya.
Nah, suatu waktu aku ada berkunjung ke Dewan Karya Pastoral Keuskupan Bandung untuk sebuah urusan, ketika mau naik tangga menuju Lt.2, mataku tiba-tiba saja menangkap sosok Beliau dalam gambar resmi yang dipasang di dinding antara Lt.1 dan Lt.2.
Beliau dalam balutan pakaian uskup hitam dengan hanya beratributkan pileola ungu di kepalanya dan crux pectoralis (kalung salib di dada) emas serta sabuk sutra ungu. Sungguh beda dan sungguh sederhana! Tentu saja sungguh membumi dan menurutku, inilah gambar Beliau yang paling baik dari semua gambar yang ada. Ini menurutku, ya!
Langsung saja aku keluarkan HPku dan setel kamera, dibantu tongsis untuk mencapai sudut gambar yang lebih baik karena lokasi gambarnya itu lebih tinggi dari kepalaku, jadilah kujepret foto Beliau itu dan inilah hasilnya!
Aku akan selalu mendoakannya agar Tuhan yang telah memberikannya jabatan uskup untuk sebuah keuskupan yang unik dan dinamis, berkenan membuatnya menjadi seorang gembala yang berani revolusioner, seperti halnya Sri Paus Fransiskus yang juga revolusioner untuk umat Katolik sedunia.
Tuhan, berkatilah si paman uskup ini. Amin.
*Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC adalah filsuf pertama di dunia yang dipilih menjadi uskup.
Wednesday, 11 March 2015
Menjadi Jurnalis itu... (2)
Rabu, 26 November 2014, janjian wawancaraku dengan Bapak Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, di kediaman resminya Wisma Keuskupan Bandung. Wawancara dilakukan untuk artikel yang dikirimkan ke blog jurnalisme warga, tempat aku menjadi satu dari sekian banyak kontributornya.
Singkat kisah, wawancara berlangsung lancar. Uskup Bandung sangat ramah, tidak takut tampil jelek dan seringkali kami bahkan tertawa bersama. Rekaman pakai telepon selularku pribadi lancar jaya tanpa hambatan dan dapat bantuan fotografer yang baik sekali, Nadia Nathania. Pokoknya asyik, lah.
Tapi, keseruan dan kerepotan justru bukan saat di wawancaranya itu. Kerepotan terjadi sebelum dan setelah wawancara.
Sebelum wawancara.
Ada titipan pertanyaan dari pemimpin redaksi untuk ditanyakan kepada Monsi Antonius, mengenai pandangannya akan The West versus The Rest dari Samuel P. Huntington. Akibatnya, pertanyaan tsb, sukses membuatku kelimpungan berhari-hari membaca referensinya yang ditulis hanya dalam English, sehingga ini menjadi tambahan beban buatku. Membaca referensinya berhari-hari termasuk puyengnya berhari-hari juga. melontarkan pertanyaannya di saat wawancara paling hanya beberapa detik, dan Bapak Uskup menjawabnya pun hanya sekitar 2 menit. Pemimpin Redaksi senang dengan jawaban Bapak Uskup, aku yang puyeng, hehehehe.....
Setelah wawancara.
Kerepotannya adalah, menerjemahkan isi rekaman ke dalam transkrip. Tadinya aku berpikir untuk langsung saja ketik dalam MS Words, tapi ternyata karena 1 Personal Computer di rumah harus dipakai berbagi dengan anggota keluarga lainnya, maka aku tulis saja dulu dengan tulisan tangan, dengan tulisan yang macam "cakar ayam" dan kadang aku sendiri suka lupa atau suka nggak bisa baca akan apa yang kutulis, hihihi...
Kerepotan masih belum berakhir! Ada beberapa keterangan tambahan yang harus aku cari mengingat selama wawancara, ada kalanya Monsi Antonius memberikan jawaban berupa keterangan yang tidak sempat aku tanya lebih jauh lagi, jadi aku harus cari sana, cari sini. Mencari dengan bertanya kepada Mbah Google merupakan cara yang paling sering kulakukan untuk melengkapi keterangan.
Tentang Descartes, ketika Monsi hanya mengucapkan dengan ujaran "de-ka-ht", untung saja di masa-masa lalu aku pernah tak sengaja membaca tentang Rene Descartes, filsuf Perancis yang terkenal dengan ucapannya "Corgito Ego Sum" yang artinya aku berpikir maka aku ada. Jika nggak langsung tuning ke Descartes, bisa-bisa bertanya ke Mbah Google pun, tak akan ada gunanya.
Selesai memindahkan isi rekaman menjadi transkrip, tidak juga beres urusan. Transkrip 22 halaman tulisan tanganku yang kecil-kecil, bisa membuat sakit mata yang membacanya, mesti diterjemahkan lagi ke dalam MS Words untuk keperluan penyuntingan artikel agar layak tayang di media tsb.
Akhirnya, setelah penyuntingan selesai, ditambah dan diperbaiki di sana-sini, berharap artikel yang kubuat berdasarkan hasil wawancara bersama Monsi Antonius, tidak cuma sekedar dibaca, tetapi bisa mendatangkan banyak manfaat bagi yang membacanya.
Eitt, tentu saja, setelah mewancarai si narasumber, berfoto bersama itu wajib hukumnya.
Dari foto ini, ada saja beberapa orang yang bilang bahwa Monsi Antonius dan aku seperti kakak dan adik. Iya, sih, kakak dan adik, tapi ketemu gede.... kasih tau, nggak, ya??? :)
Kesimpulannya, menjadi jurnalis itu, ya, nggak enak sebenarnya, karena harus mau dan terpaksa repot, belum tentu bikin terkenal juga. :D
Salam salut dan hormat saya untuk para jurnalis sejati, yang berkarya dalam wawancara , artikel dan pemberitaan. Kalian memang luar biasa!
Simak di sini :
http://baltyra.com/tag/linda-cheang/
Singkat kisah, wawancara berlangsung lancar. Uskup Bandung sangat ramah, tidak takut tampil jelek dan seringkali kami bahkan tertawa bersama. Rekaman pakai telepon selularku pribadi lancar jaya tanpa hambatan dan dapat bantuan fotografer yang baik sekali, Nadia Nathania. Pokoknya asyik, lah.
Tapi, keseruan dan kerepotan justru bukan saat di wawancaranya itu. Kerepotan terjadi sebelum dan setelah wawancara.
Sebelum wawancara.
Ada titipan pertanyaan dari pemimpin redaksi untuk ditanyakan kepada Monsi Antonius, mengenai pandangannya akan The West versus The Rest dari Samuel P. Huntington. Akibatnya, pertanyaan tsb, sukses membuatku kelimpungan berhari-hari membaca referensinya yang ditulis hanya dalam English, sehingga ini menjadi tambahan beban buatku. Membaca referensinya berhari-hari termasuk puyengnya berhari-hari juga. melontarkan pertanyaannya di saat wawancara paling hanya beberapa detik, dan Bapak Uskup menjawabnya pun hanya sekitar 2 menit. Pemimpin Redaksi senang dengan jawaban Bapak Uskup, aku yang puyeng, hehehehe.....
Setelah wawancara.
Kerepotannya adalah, menerjemahkan isi rekaman ke dalam transkrip. Tadinya aku berpikir untuk langsung saja ketik dalam MS Words, tapi ternyata karena 1 Personal Computer di rumah harus dipakai berbagi dengan anggota keluarga lainnya, maka aku tulis saja dulu dengan tulisan tangan, dengan tulisan yang macam "cakar ayam" dan kadang aku sendiri suka lupa atau suka nggak bisa baca akan apa yang kutulis, hihihi...
Kerepotan masih belum berakhir! Ada beberapa keterangan tambahan yang harus aku cari mengingat selama wawancara, ada kalanya Monsi Antonius memberikan jawaban berupa keterangan yang tidak sempat aku tanya lebih jauh lagi, jadi aku harus cari sana, cari sini. Mencari dengan bertanya kepada Mbah Google merupakan cara yang paling sering kulakukan untuk melengkapi keterangan.
Tentang Descartes, ketika Monsi hanya mengucapkan dengan ujaran "de-ka-ht", untung saja di masa-masa lalu aku pernah tak sengaja membaca tentang Rene Descartes, filsuf Perancis yang terkenal dengan ucapannya "Corgito Ego Sum" yang artinya aku berpikir maka aku ada. Jika nggak langsung tuning ke Descartes, bisa-bisa bertanya ke Mbah Google pun, tak akan ada gunanya.
Selesai memindahkan isi rekaman menjadi transkrip, tidak juga beres urusan. Transkrip 22 halaman tulisan tanganku yang kecil-kecil, bisa membuat sakit mata yang membacanya, mesti diterjemahkan lagi ke dalam MS Words untuk keperluan penyuntingan artikel agar layak tayang di media tsb.
Akhirnya, setelah penyuntingan selesai, ditambah dan diperbaiki di sana-sini, berharap artikel yang kubuat berdasarkan hasil wawancara bersama Monsi Antonius, tidak cuma sekedar dibaca, tetapi bisa mendatangkan banyak manfaat bagi yang membacanya.
Eitt, tentu saja, setelah mewancarai si narasumber, berfoto bersama itu wajib hukumnya.
Dari foto ini, ada saja beberapa orang yang bilang bahwa Monsi Antonius dan aku seperti kakak dan adik. Iya, sih, kakak dan adik, tapi ketemu gede.... kasih tau, nggak, ya??? :)
Kesimpulannya, menjadi jurnalis itu, ya, nggak enak sebenarnya, karena harus mau dan terpaksa repot, belum tentu bikin terkenal juga. :D
Salam salut dan hormat saya untuk para jurnalis sejati, yang berkarya dalam wawancara , artikel dan pemberitaan. Kalian memang luar biasa!
Simak di sini :
http://baltyra.com/tag/linda-cheang/
Subscribe to:
Posts (Atom)