Wednesday 20 March 2019

Review OrganiCup - Merawat Lingkungan Ketika Haid Datang

Halo semua yang membaca tulisanku ini.

Di artikel ini saya mau tuliskan review tentang sebuah alat yang akan sangat bermanfaat bagi para perempuan, ketika si tamu bulanan datang dan sambil tetap bisa menjaga lingkungan, jadi dapat mendukung gerakan #zerowasteperiod.


Tujuan utama saya tulis ini, selain memberikan informasi, juga menyampaikan edukasi bahwa perkara tamu bulanan setiap perempuan itu bukanlah hal yang tabu untuk dibahas, karena setiap perempuan sehat, semestinya mendapatkan haid alias menstruasi. Namun yang paling utama akan dituliskan adalah ulasan saya atas sebuah alat yang telah membantuku untuk sepenuhnya menyatakan Selamat Tinggal(!) pada pembalut sekali pakai, selamat datang penghematan dan ramah lingkungan. Horeeee...

Peringatan:


Ada beberapa foto/gambar yang akan menampilkan anatomi tubuh bagian bawah perempuan, berupa penampang alat reproduksi perempuan. Bagi Anda para pembaca yang berpikiran sempit, menganggap hal tsb adalah porno, tidak boleh diperlihatkan, maka sejak di sini setop membacanya, karena tak akan ada gunanya ilmu apapun untuk orang-orang yang hanya berpemikiran sempit, berpandangan picik! Aku cuma bisa sarankan, ayolah! Tumbuhlah jadi manusia dewasa. Lagipula alat reproduksi perempuan merupakan tempat asalnya kita semua, laki-laki dan perempuan lahir ke dunia ini.

Bagi yang masih mau lanjut, mari simak penuturan saya berikut ini.

Sebenarnya saya sudah tertarik untuk gunakan sebuah alat yang disebut Menstrual Cup, selanjutnya disingkat menjadi MC, yaitu sebuah cangkir atau mangkuk kecil, terbuat dari bahan silikon yang sudah sesuai dengan standar medis, istilahnya medical grade silicone. Ketertarikan saya karena pada sekitar 2 tahun lalu, saya membaca kisah pengalaman seorang teman sesama kontributor di sebuah media jurnalisme warga, tentang pengalamannya betapa nyaman dan menyenangkannya saat haid menggunakan MC. Sayangnya pada saat itu ketika saya mencari-cari produk MC lewat pencarian secara daring, memang sudah banyak produk MC berbagai yang dijual di Indonesia tapi harganya itu, aduh! Sangat menguras dompet, mungkin karena ada komponen bea masuk. Jangan-jangan dikenakan bea masuk kategori barang mewah, woohooo...

Maka sejak selesai membaca ulasan si teman, saya masih harus tahan diri dulu beli MC dan terpaksa masih gunakan pembalut sekali pakai yang jelas selain tak praktis karena saya diajarkan untuk selalu mencuci pembalutnya saat ganti, juga sangat tidak ramah lingkungan karena masih ada bagian di pembalutnya yang gunakan plastik. Plus, tidak leluasanya saya beraktivitas tanpa kuatir ketembusan pada saat haid sedang deras-derasnya. Seringkali saya harus menahan malu karena darah haid yang menembus sampai pakaian terluar saya di tengah-tengah aktivitas siang hari, walau sudah pakai pembalut panjang yang bersayap dan (katanya) punya daya tampung banyak. Belum lagi darah haid selain berbau amis, juga cukup sering tembus sampai menodai sprei saat malam hari ketika sedang tidur. Alhasil kerjaan saya makin banyak karena harus membersihkan sprei juga. Satu yang sudah pasti, saya tidak pernah bisa berenang saat sedang haid! Ada lagi hal yang selalu bikin saya kesal saat masih gunakan pembalut sekali pakai yaitu : iritasi kulit berupa ruam di daerah yang tertutup pembalut. Rasanya gatal & panas, karena ruam menyebabkan kulit jadi memerah dan bisa sampai terkelupas ketika terlalu sering bergesekan dengan pembalut, misalnya ketika saya sedang beser jadi sering bolak-balik toilet karena harus BAK


Pernah juga saya gunakan pembalut kain buatan sendiri dari bahan handuk, karena masih belum cukup dana untuk beli menstrual pad yang bisa dicuci pakai lagi sampai 300-an kali pakai ulang. Ternyata walau ramah lingkungan, tapi mencuci pembalut kain itu tidak praktis, apalagi ketika saya harus ganti pembalut saat sedang tidak di rumah.  Membawa pulang kain basah hasil ganti pembalut di luar rumah itu amat tidak praktis! Malah bisa-bisa kain pembalut itu bisa cepat berjamur karena sering basah dan tersekap kantong plastik sebelum dicuci lagi di rumah pakai sabun cuci.

Singkat kisah, MC pertama yang saya beli secara daring adalah V*** 
Cup ukuran L gara-gara saya lihat harganya amat terjangkau kantung dan ada petunjuk bahwa untuk usia saya, harus pakai ukuran L itu. Eh, tahunya setelah saya coba pakai, ternyata ukuran itu kebesaran. V*** cup ini ternyata tidak dapat membuka dengan sempurna di kanal vagina karena terlalu besar padahal sudah saya coba untuk menempatkan ke posisi yang benar sesuai petunjuk cara pakainya. Cocoknya buat para perempuan yang sudah pernah melahirkan secara normal atau disebut vaginal birth. Maka si V*** cup-nya saya simpan saja untuk nantinya saya akan berikan ke seorang teman.

Lalu, saya melihat ulasan OrganiCup dan video tutorial cara pakainya. Saya yakin sekali inilah MC yang pasti akan pas buat saya. Pas sekali, toko daring penjualnya punya akun jualan di situs belanja daring yang saya pun punya akunnya sebagai pembeli. Apalagi pembayarannya bisa split pakai dompet digital, menggunakan poin yang sudah saya kumpulkan sejak lama. Plus berkat kupon gratis ongkir, maka setelah saya hitung, saya membayar tunainya hanya sekitaran Rp100ribuan saja. Asyikkk, jadi harga belinya murah meriah, hehehe. Makin irit, deh.

Di bawah ini gambar kotak si OrganiCup yang saya terima.




OrganiCup ukuran A

Kotak OrganiCup dibuat dari karton daur ulang dan tanpa staples sama sekali tapi masih pakai sedikit selotip untuk mengunci kotaknya. Di bagian dalam kotak, sudah tersedia sebuah kantung warna putih pecah, sepetinya terbuat dari kain sejenis belacu dan di dalam kantong itu, tersimpan si MC yang sudah saya tunggu. Warnanya putih semi transparan, tak seperti MC dari beberapa merek lain yang warnanya ada merah jambu, ada biru, dll. Lengkap dengan stemnya di bagian bawahnya. Sayang ketika MC ini saya terima, periode haid saya sudah selesai, jadi saya tunggu periode haid berikutnya.



Penampakan si OrganiCup MC dan kantungnya

Ketika periode haid datang, saya sudah persiapkan diri sebaik mungkin. Mengikuti petunjuk pada bagian dalam kotak OrganiCup, menyimak baik-baik video tutorialnya, dan ketika mulai belajar memakai MC ini, yah, beberapa kali tidak berhasil karena saya kurang rileks, hehehe. Pada akhirnya, mampu untuk rileks dan yakin bisa menggunakan MC ini, jadi kunci yang memudahkan saya untuk mengunakannya dan sejak pertama kali itu, saya bebas dari rasa lembab, rasa tidak nyaman. Bahkan setelah MC terpasang baik di dalam kanal vagina, saya tidak merasakan ganjalan apapun! Serasa tidak sedang haid saja. Oh, ya, saya memerlukan menggunting stemnya agar tidak mengganggu saat sedang pakai MC. Cara termudah untuk saya memasang M adalah C-fold. Kelak saya mau coba cara punch down fold karena kabarnya cara ini lebih sip untuk memasang MC. Keterangannya ada di gambar yang akan saya lampirkan.

Saya tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Urusan ke toilet pun baik untuk BAK dan BAB, biasa saja, tidak perlu sampai harus mencabut MC. Berkegiatan bersepeda setiap hari, jalan kaki atau berkebun, semua dilakukan seperti biasanya, tanpa ada rasa mengganjal apa-apa. Tidurpun bisa nyenyak karena sudah tidak perlu kuatir lagi bakal tembus sampai mengotori seprai. Kecuali ketika saat MC sudah penuh dengan darah haid, nah, baru terasa ada yang lembab dan basah, karena darah menetes keluar dari satu atau beberapa lubang di bagian atas MC. Itulah saatnya isi MC harus dibuang.

Nah, perasaan gugup dan berdebar itu ketika untuk pertama kali mengeluarkan MC dari kanal vagina. Agak sukar karena MC ini benar-benar vakum, sehingga jika tidak menekuk sedikit dasar MC, maka akan menemui sedikit kesulitan untuk mengeluarkannya. Pertama kali mengeluarkan MC ini, lupa menekuk dasarnya dan akhirnya ketika ditarik keluar, saya merasa ngilu, hehehehe. Setelah pengalaman ngilu itu, akhirnya saya jadi ahli untuk memasang dan mengeluarkan MC dengan menekuk bagian dasar MC lalu baru ditarik ke luar. Tentunya saat memasang MC, saya memerlukan bantuan pelumas agar tidak seret. Saya pakai saja feminine wash (cairan pembersih vagina) yang sudah saya beli. Rencananya saya mau lengkapi MC OrganiCup ini dengan OrganiWash ketika feminine wash yang ada sudah habis.

Setelah MC dikeluarkan, selanjutnya tinggal buang saja darah haid yang tertampung dalam MC itu ke dalam lubang toilet. Saat berhasil melepaskan MC, saya takjub, karena dari darah haud yang tertampung di dalam cup, tidak ada sama sekali bau amis darah/anyir seperti ketika masih pakai pembalut sekali pakai atau ketika pakai kain pembalut. Setelah darah haid dibuang, cuci MCnya dengan cara bilas saja dengan air atau jika toiletnya dilengkapi semprotan toilet, semprotkan saja air ke dalam cup dan setelah bersih dari darah, tinggal dipasang lagi. Jika sedang bepergian dan harus membuang isi cup di toilet umum, saya selalu biasakan membawa feminine wash untuk keperluan bilas ini. Digunakan juga untuk mencuci tangan sebelum memasang MC kembali ke dalam kanal vagina. Begitu selalu prosesnya sampai haid selesai. 

MC OrganiCup ini dapat dipakai saat haid dalam waktu yang lama, bisa 12 jam tanpa harus dilepas-pasang kecuali hanya saat sudah penuh.  Saya mengamati lamanya waktu pemakaian MC sejak dipasang sampai harus dibuang ketika sudah penuh terisi darah, waktu pemakaiannya seperti ini :

- Hari pertama haid : pemakaian MC 6-8 jam dihitung sejak pasang pertama kali.

- Hari kedua haid: saat sedang deras-derasnya, pemakaian MCnya dalam sehari di luar 
  waktu tidur, saya harus kosongkan MC setiap 3-4 jam sekali! Wuih, untuk usia saya  

  sekarang, sederas itu masih termasuk luar biasa, ya? Mengosongkan MC setiap 3-4 jam  
  sekali terjadi untuk 2 - 3 kali saja pada hari kedua haid. Selanjutnya ke setiap 5-6 jam      sekali
- Hari ketiga haid: pemakaian MC kembali ke 6-8 jam 

- Hari keempat haid : bisa 8-12 jam pemakaian
- Hari kelima/hari terakhir haid : 12 jam pemakaian

Ketika periode haid berakhir, sebelum MC disimpan, perlu disterilisasi dulu dengan cara direbus ke dalam air mendidih selama 3-5 menit dan cup ini tidak boleh kena dasar panci atau alat perebus. Selesai sterilisasi, MC disimpan dalam kantungnya dan masukkan lagi ke dalam kotak kartonnya. Saat periode baru datang lagi, bila tak sempat sterilisasi dulu, bisa jadi karena darah haid tiba-tiba saja keluar, maka MC yang sudah steril ini biss langsung dipasang lagi ke dalam kanal vagina. Syukur bila masih sempat dicuci dengan air dan carian pencuci vagina. Sedapat mungkin pakai cairan pembersih vagina yang tidak beraroma apapun.

Berikut ini disertakan cara memasang dan melepaskan MC dituliskan dalam Bahasa Inggris, difoto dari kotak karton pembungkusnya OrganiCup.








Ilustrasi cara memasang menstrual cup:

Cara menggunakan Menstrual Cup

Gambar-gambar ini menunjukkan posisi MC saat sudah di dalam kanal vagina. Gambar-gambar ini diambil dari Google Search.




Dua gambar di bawah ini adalah penjelasan yang terdapat pada karton pembungkus MC tentang hal sebelum penggunaan OrganiCup pertama kali dan keterangan tentang menstruasi berikut ajakan untuk mengubah periode menstruasi pada setiap perempuan menjadi periode yang ramah lingkungan. 




Saat saya membuat tulisan ini, saya sudah melalui periode kedua haid dan menjelang periode ketiga mengunakan OrganiCup. Selama gunakan MC, benar-benar membebaskan saya dari rasa kuatir, terutama bebas dari kuatir karena aroma tidak sedap darah haid setiap kali mengganti pembalut sekali pakai. Pula sudah terbebas dari ruam dan kulit lecet karena selama menggunakan MC, rasa kering dan bersih itu nyata benar adanya. Berbeda sekali ketika saya masih pakai pembalut sekali pakai, karena rasa lembab, aroma tidak sedap, ruam dan kurang leluasa bergerak itulah, saya selalu merasa jengkel ketika haid datang. Benar-benar tamu bulanan yang merepotkan selama bertahun-tahun! Namun sejak menggunakan MC OrganiCup, kapanpun si tamu bulanan ini datang, saya siap menghadapinya dengan santai. Apalagi MC ini bisa digunakan hingga kurun waktu 10 tahun lamanya. Wow, betapa hematnya uang yang bisa saya simpan, yang sebelumnya dianggarkan untuk membeli pembalut sekali pakai. Dan sejujurnya saya sempat menyesal, kenapa tidak sejak dulu saja saya gunakan MC.


Sampai di sini saya menuliskan pengalaman tentang menggunakan menstrual cup. Berharap tulisan yang jauh dari sempurna ini, bisa memberikan sedikit pencerahan mengenai periode haid yang bisa ramah lingkungan. BIla ada yang mau bertanya seputar menstrual cup ini,  silakan saja, tak perlu sungkan.

Salam sehat selalu untuk semua perempuan. Saatnya mengubah pola pikir bahwa menstruasi sekarang ini bukan hal yang tabu untuk dibicarakan atau didiskusikan dan ternyata saat para perempuan sedang mendapat haid pun,  bisa ramah lingkungan.



Linda Cheang
IG :@linda_cheang


Sumber :

- www.organicup.com
- IG @organicup.id
- www.sustaination.id
- IG @sustaination
- IG @ekko.store
- YouTube  Put A Cup In It : An "Inside" Look at Menstrual Cups
- YouTube  Organicup - Menstrual Cup : How to use a Menstrual Cup – In-depth
   Instructional Video

Saturday 3 February 2018

Explore Javatraat, Januari 2018 - Bagian 2

Teman-teman sekalian,

Ini sambungan artikel sebelumnya.

Mapolrestabes Bandung

Usai jalan-jalan di kompleks Katedral Bandung, kami para peserta diarahkan menuju Gedung Markas Polisi Wilayah Kota Besar Bandung. Di lokasi ini saya malah terlalu asyik menikmati keindahan dan kokohnya tiang-tiang bangunannya sampai hanya sedikit sekali mengambil fotonya.

Gedung ini dibangun pada 1864 - 1866 bergaya arsitektur neo classic dan karena gaya bangunan ini amat disukai para tuan tanah pada masa itu, maka gaya bangunan ini sering disebut Indische Empire Stijl.

Dulunya gedung ini dibangun untuk Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers, yaitu sekolah guru untuk pribumi. 
Sekolah ini didirikan oleh Raden Haji Mohammad Musa dan Karel Federik Holle, administratur perkebunan teh Waspada di Cikuray, Garut. Sekolah ini merupakan sekolah guru pertama bagi kaum pribumi di zaman Hindia Belanda, namun hanya warga pribumi yang merupakan anak-anak raja atau bangsawan yang bisa bersekolah di situ. Dua orang tokoh nasional Indonesia yang pernah bersekolah di Kweekschool itu adalah Pahlawan Nasional Otto Iskandar Dinata dan Jendral AH. Nasution. 


Tampak depan gedung * Ka Kei
Bagian depan gedung dari arah samping *Historical Trips

Plakat tanda renovasi gedung


Di dalam ruangan yang masih asli tembok dan lantainya *Historical Trips

Bagian Hall di dalam gedung  *Historical Trips

Bagian samping gedung *Dewi Diana Sarasvati

Jendela-jendela besar  *Betani Arisandi

Sempat ada wacana untuk membongkar gedung ini pada 2001 dan 2004. Direncanakan lokasi gedung ini akan dijadikan kompleks pertokoan setelah gedung tua ini dirobohkan, namun untung saja tidak jadi terealisasi. Tetapi gedung ini masih belum mendapatkan plakat penanda sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah kota. 

Saat ini, gedung ini dimanfaatkan sebagai kantor untuk Kepolisian Kota Besar Bandung, dilestarikan dalam kondisi aslinya. Kendala perawatan gedung ini adalah memerlukan banyak biaya terutama untuk mengatasi keroposnya  kayu-kayu jati besar ada yang sampai berukuran 75 x 75 cm karena faktor rayap dan iklim lembap mempercepat pelapukan. Pada saat ini Kepolisian Kota Besar Bandung sudah mengupayakan segala daya untuk perawatan gedung bersejarah ini, dan tentunya perlu ada perhatian dan bantuan pula dari berbagai kalangan agar gedung ini bisa terus terjaga kelangsungannya.


Bersambung.


Bandung, 3 Februari 2018

Linda Cheang



Foto kredit :
Koleksi teman-teman Historical Trips

Tuesday 23 January 2018

Explore Javastraat, Januari 2018 - Bagian 1.

Halo semuanya,


Lama juga, ya, saya tidak ikut berkontribusi ke rumah kita bersama ini. Maunya seperti Oom Dj, yang rajin setiap Selasa pasti mencungul  artikelnya di Baltyra, tapi apa daya, saya masih punya banyak kendala yang lebih prioritas untuk diselesaikan lebih dulu.




flyer pemberitahuan tur jalan-jalan sejarah

Nah, ini karena kegiatannya baru saja saya jalani beberapa hari lewat, daripada keburu menguap, lebih baik saya segera bagikan untuk dinikmati oleh teman-teman semua.


Suatu saat saya mendapat informasi bahwa sebuah komunitas tur sejarah bernama Historical Trips Bandung, menawarkan acara ekplorasi bangunan bersejarah di sepanjang Jalan Jawa, Bandung. Segera saja saya menyatakan akan ikut, karena memang pas waktunya saya bisa dan itu dilaksanakan pada hari Sabtu. Sebelum-sebelumnya, Historical Trips mengadakan acara pada hari Minggu pagi, yang jelas sangat tak mnemungkinkan untuk saya yang selalu terkena jadwal bertugas pelayanan di gereja. Ada juga yang pada Sabtu untuk Explore Wastukantjana, eh, pas saya sedang tidak bisa pergi karena sudah ada jadwal yang lebih dulu saya iyakan. Maka untuk Explore Javastraat ini saya akan paksakan diri untuk ikut, supaya tidak menyesal. Saya bahkan rela geser jadwal lain yang sedianya dilaksanakan di waktu yang sama.

Kegiatan Explore Javastraat akan dimulai di titik halaman Gereja Katedral St. Petrus Bandung pada Pk 07.45, Maka saya pikir, sepertinya baik juga kalau sekalian numpang saja ibadah Misa Pagi di situ untuk berdoa memohon penyertaan Tuhan agar acara jalan-jalan berjalan lancar. Sabtu pagi, 20 Januari lalu, saya bergegas berangkat dan terpaksa gunakan taksol karena cuaca hujan plus membawa barang berat berupa hadiah untuk sumbangan ke salah satu penghuni bangunan bersejarah yang akan dikunjungi nantinya.

Saya sempat bertemu dengan seorang pastor parokinya, Rama Abu (Pastor YC. Abukasman, OSC) yang rupanya baru selesai  memimpin misa pagi Pk. 06.00. Sempatkan diri menyapa Beliau, saya bergegas masuk ke dalam Katedral karena misa Pk. 07.00 segera akan dimulai. Rupanya misa pagi Pk. 07.00 tsb dipimpin oleh pastor kepala parokinya, Pastor Barnabas Nono Juarno, OSC. Saya pun kenal dengan Beliau dan berharap, akan bisa dengarkan homilinya (kotbahnya). Eh, tapi, ternyata di misa pagi itu nggak ada homilinya??? Ini pengalaman pertama kali saya ikut misa pagi di hari biasa setelah sekian puluh tahun berlalu, karena seingat saya dulu-dulu waktu diajak almarhumah nenek saya ke misa pagi di Katedral, saat itu masih ada homilinya walau singkat. Dan saya akhirnya hanya bisa bengong sesaat ketika selepas bacaan Injil, di area panti imam sana pada altar, saya menyaksikan Pastor Nono malah bersiap untuk Ekaristi. Well, ya, sudah, deh, saya nggak dapat homili kali ini.


Usai misa, saya masih mencari-cari rekan-rekan dari Historical Trips yang akan berkumpul, dan mereka ternyata sudah bersiap di lapangan parkir motor. Pada waktu sudah mencapai Pk 07.45 sesuai rencana, masih banyak peserta dan panitia yang belum muncul, maka kami berjalan saja sesuai rencana, apalagi dari pengurus Katedral sudah ada pemandunya hadir. Para rekan yang belum hadir biar menyusul saja, lah.

Foto-foto dari Katedral Bandung


Bagian depan Katedral

Menghadap arah timur.


Di atas orgel ada kaca patri bergambar satu mata menggambarkan Allah Bapa. Atah barat

Kaca Patri di atas Panti Imam, arah Timur

IHS - Iesus Homini Salvator, simbol Yesus penyelamat umat manusia. Arah utara


Ruang Pengakuan Dosa untuk Pst. Leo van Beurden, OSC
Ruang Pengakuan Dosa bagi umat.
Atap katedral dilihat dari samping

Saya terlupa mengambil gambar kaca patri yang bergambar burung merpati yang melambangkan Roh Kudus yang menghadap ke arah selatan. Benar-benar lupa. Baru tersadar setelah meninggalkan Katedral.

Sepanjang tur di dalam gedung Katedral, Amanda si pemandu banyak memberi penjelasan yang menjadi hal-hal baru untuk saya, walau saya merasa cukup kenal dengan Gedung Katedral tsb. Tak hanya hal gaya arsitektur neo gothic yang dijelaskan. Eh, tapi saya sempat diminta Amanda untuk tidak memberitahukan patung yang mana yang menggambarkan Santo Petrus, si pelindung gereja ini.

Kami pun diberi kesempatan untuk naik ke menara gereja, tapi tidak bisa masuk ke bagian balkon tempat orgel berada karena alasan keamanan konstruksi gedungnya, maka balkon tidak boleh dimasuki banyak orang. Orgel pada bagian balkon tsb masih bisa dimainkan hingga saat ini, namun hanya dimainkan pada perayaan hari-hari raya gereja tertentu atau pada konser khusus orgel. Di dalam menara gereja di bawah atapnya yang lancip tinggi itu, ada dua lonceng besar, bernama Yohanes dan Yakobus, setiap harinya masih dibunyikan pada Pk. 12.00 dan membunyikannya harus satu-satu bergantian, tidak boleh bersamaan. Ada 2 tali rami besar yang selalu diikatkan pada pegangan tangga ke menara, sebagai alat untuk membunyikan lonceng gereja. Sebab jika harus naik ke menara gereja, terlampau tinggi. Lagipula Amanda sempat menyebutkan bahwa ada bagian menara yang sudah ada retakan, namun belum menemukan tukang bangunan yang bisa memperbaiki menara setinggi itu.


Banyak pernak-pernik dalam gereja yang baru saya ketahui termasuk bahwa si meja altar, ada relikui (sisa-sisa tubuh dari seseorang, biasanya orang yang sudah jadi orang kudus/suci) namun tidak diketahui itu relikui siapa dan apa yang ada di situ. Amanda hanya bisa membantu mengambil foto batu marmer penyimpan relikui tsb yang tertutup kain putih dengan kamera ponselnya dan hasil fotonya yang termasuk kurang terang, diperlihatkan kepada kami para peserta. Maka, pantaslah mengapa altar di Katedral ini selalu dicium oleh para imam bahkan sampai Uskup dan Nuncio pun mencium altar ini sebelum memulai misa dan setelah mengakhiri misa. Nuncio adalah Duta Besar Tahta Suci Vatikan untuk suatu negara, mewakili Paus.

Kami para peserta  selesai tur dalam gedung Katedral keluar dari pintu selatan menuju plasa di depan aula untuk bersiap ke gedung lainnya, Kantor Polrestabes Bandung. Eh, tapi, ternyata saya kelupaan mengambil gambar CATHEDRA, kursi duduk khusus berlambang keuskupan, yang untuk hanya boleh dipakai Uskup (dan Nuncio), yang menyebabkan gereja ini diberi gelar gereja Katedral. Mungkin nanti di artikel khusus Gereja Katedral saja,  saya akan sertakan. Itupun kalau saya membuat artikelnya. 😃




Bersambung.

Bandung, 24 Januari 2018

Linda Cheang



Foto kredit :
- koleksi pribadi
- koleksi teman-teman Historical Trips

Friday 11 August 2017

Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe - Jejak Kereta Uap Dalam Kartu Pos Kuno

Penulis              : Olivier Johannes Raap
Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
ISBN                  : 
9786024243692
Halaman           : xxvii + 176
Cetakan            : Pertama



Harga                : Rp200.000 (2017)

Naik kereta api, tut, tut, tuuut….

Pembaca yang mengalami masa kecil tinggal di Indonesia sebelum tahun 2000-an, umumnya tahu sepenggal lirik ini dari sebuah lagu anak-anak ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio alias Ibu Soed. Bunyi tuut, tersebut berasal dari uap yang menggerakkan lokomotif penghela gerbong-gerbong kereta api sebelum akhirnya digantikan lokomotif diesel.

Kata ‘Sepoer’ yang menjadi kata awal judul buku ini diambil dari kebiasaan orang-orang di Pulau Jawa sejak zaman Hindia Belanda untuk menyebutkan kereta api, rangkaian moda transportasi terdiri dari satu lokomotif penghela dan beberapa gerbong untuk penumpang atau barang. Padahal sejatinya kata sepur itu berasal dari kata bahasa Belanda ‘spoor’ yang artinya adalah jalur kereta api, menunjukkan jalan atau trek yang dilalui rangkaian kereta api. Apa daya, salah kaprah tsb terus dilanjutkan hingga kini ketika zaman sudah apa-apa cukup daring alias dalam jaringan, dikenal  sebagai on line.

“Mas Oli, kapan mau launch buku baru?”

Tidak terhitung berapa kali pertanyaan itu dilontarkan. Akhirnya sekarang waktunya!

Dengan sukacita saya persembahkan hasil karya penulisan saya yang terbaru: Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Mari kita menikmati romantisme kereta api pada zaman dulu melalui koleksi kartu pos kuno!

Kutipan pernyataan di atas diambil dari bagian pengantar dari si penulis yang diambil dari buku ini. Menggambarkan rasa antusias para pembaca buku-buku sebelumnya. Buku Sepoer oeap ini akhirnya resmi terbit  pada 24 Juli 2017. Bertepatan dengan 150 tahun beroperasinya transportasi kereta rel di Indonesia.

Oli, si penulis asal Belanda kembali menuliskan kepingan sejarah tentang Hindia Belanda yang dilihatnya melalui kumpulan kartu-kartu pos kuno koleksinya dan menyenangkan bahwa satu tema mengenai kereta uap saja, kartu posnya bisa begitu banyak sehingga dapat dijadikan buku untuk dokumentasinya. Maka dari itu satu buku ini khusus membahas tentang kereta uap saja. Siapa yang sangka, dari kumpulan kartu pos kuno tentang kereta uap, bisa digali begitu banyak informasi berharga tentang sejarah sebuah negeri yang dulu bernama Hindia Belanda.


Bagi para pecinta kereta api, buku ini baiknya menjadi salah satu acuan sejarah seputar hal-hal tentang  perkeretaapian di Indonesia. Awal mula lintasan kereta uap dimulai di Jawa Tengah rute Semarang – Tanggung pada 1867, bahkan jauh lebh awal sebelum negara Tiongkok membangun pertama kali jalur perkeretaapiannya pada 1872. Dibangun Jalur rel pertama oleh sebuah perusahaan swasta Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij(NIS) yang berarti Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, pada perkembangannya perkeretaapan di Pulau Jawa saat itu, muncul perusahaan –perusahan lain hinggal totalnya pernah ada sampai ada 17 perusahaan perkeretauapan termasuk perusahaan kereta negara  Staats Spoorwegen (SS). Kesemua perusahaan kereta tsb nantinya melebur dan kelak menjadi cikal-bakal DKA, Djawatan Kereta Api yang sekarang ini sudah bertransformasi menjadi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

Tak melulu soal jalur kereta. Dari kumpulan kartu-kartu pos kuno yang berkaitan dengan kereta api ini, dibahas pula mengenai jenis-jenis lokomotif penghela kereta, jalur lebar, jalur sempit, tingkatan stasiun kereta dan masih banyak informasi berharga ditemukan tentang Pulau Jawa tempo doeloe plus ada tamu dari Pulau Sumatra, halaman 158

Tempat yang sekarang ini menjadi tujuan wisata unggulan di Semarang yaitu Lawang Sewu, ternyata di tempo doeloe, merupakan kantor untuk perusahaan kereta uap NIS. Gedung tsb tampil pula di buku ini. Silakan pembaca bandingkan kondisi Lawang Sewu yang di dalam  foto kartu pos kuno dengan kondisi saat ini. Keindahannya tak lekang oleh waktu, apalagi gedung ini benar-benar dirawat oleh PT KAI sekarang.

Banyak hal diungkap dari dokumentasi kartu-kartu pos kuno yang mungkin tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Membaca Daftar Isi saja kita bisa melihat beberapa hal yang terkait dengan jaringan kereta uap. Lintas dan lintasan, dari gula sampai tembakau, stasiun dan jembatan kereta uap dengan  situasi lingkungan sekitarnya sampai di bab terakhir ada sedikit kisah tenang lori monorel yang sebenarnya bukan kereta dan tak ada hubungan langsung dengan kereta uap. Sepertinya lori ini nyasar masuk ke buku ini. Relasi lori ini dengan kereta uap adalah karena kayu. Kayu untuk bahan bakar lokomotif kereta uap, dipanen dan dibawa dengan lori monorel ini.

Tak melulu membahas semua hal teknis yang berkaitan dengan kereta api. Beberapa hal-hal kecil pun dibahas meski tak banyak. Contohnya tentang perangko yang menempel pada beberapa kartu pos, seni arsitektur pada bangunan stasiun, atau istilah Buk Glendeng yang bisa ditemui pada halaman 53. Hal menarik tentang ketinggian di kawasan Priangan dibahas khusus pada bab tersendiri (Bab 4) lengkap dengan lengkungan kelokan dan cerita tentang dua lokomotif yang menghela satu rangkaian kereta. Hal yang masih dilakukan dalam ingatan saya, hingga 2014 untuk rangkaian kereta di Jalur Selatan Pulau Jawa, dari Stasiun Bandung sampai Stasiun Banjar dan sebaliknya.

Sejarah perkeretauapan di Jawa yang meningkat mengikuti pertambahan tahun, ketika kecepatan kereta ssemakin tinggi dan keperluan penggunaan kereta semakin beragam. Maka, akan ditemukan kisah tentang serdadu, jalur gula dan tembakau, bahkan jalur kopi juga ada. Jalur khusus yang lokomotifnya harus menggunakan roda gigi khusus di Bedono yang masih ada hingga saat ini dan tiba pada masa ketika kereta api tanpa api ditandai dengan adanya trem listrik. Berarti di masa itu, Pulau Jawa sudah amat maju untuk transportasi umum dengan kereta. Kemudian ada beberapa bab khusus membahas trem saja sampai tiba trem menjadi kereta api. Pasti akan makin menyenangkan jika dapat membaca buku ini sambil menikmati perjalanan kereta api.

Sekalian memberikan informasi, si penulisnya akan datang ke Indonesia dan akan diadakan acara diskusi buku ini, di beberapa kota di Pulau Jawa. Tunggu saja tanggal mainnya, yak. 


Bandung, 12 Agustus 2017

Linda Cheang

Tuesday 11 July 2017

Anggota Keluarga Baru

Halo semua, 


Harapkan semua yang membaca tulisan saya ini, sehat dan sukacita, diberkati Tuhan.

Sekian waktu saya menghilang, tidak menulis apa-apa untuk media manapun termasuk rumah saya sendiri, sekarang saya mau sengaja ambil waktu membuat tulisan ini untuk menceritakan tetnang anggota keluarga baru yang hadir, dan awalnya bermula dari sebuah rumah bersama yang bernama Baltyra.


Di Agustus 2016 lalu, anggota Baltyra yang kita kenal dengan nama Angela Januarty Kwee alias Angel, teman kita yang tinggal di Sintang- Kalbar ini,  menghubungi saya berkaitan dengan rencana kegiatannya yang dia sebut dengan petualangan, dan minta agar saya boleh memberi beberapa info. Singkat kisah, Angel ini saya tawarkan untuk tinggal di rumah saya saja tentu setelah saya minta izin dulu kepada Mama sebagai orangtua dan yang dituakan. Kebetulan kami memiliki sebuah paviliun yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal untuk tamu, walau kondisinya, ya, seadanya.  Angel akhirnya memang jadi tinggal di paviliun tsb dan ternyata, di dala bagian petualangannya, Angel membawa teman seperjuangan, yaitu Laeli, asal Kota Mataram di Pulau Lombok - NTB, jadi dia anak Lombok. Pulau Lombok, yah, bukan lombok yang artinya cabe. 


Jadilah Angel dan Laeli bagian dari keluarga saya sampai waktu mereka kembali ke kampung masing-masing. 
Syukur, bahwa Angel dan Laeli bisa menerima kondisi untuk tinggal dalam sebuah paviliun sederhana, yang penting privasi mereka terjamin dan mereka bisa belajar tanpa terganggu oleh aktivitas kami di rumah utama. Mereka bahkan dibekali kunci pintu pagar rumah kami, sehingga mereka dapat pergi dan pulang kapan saja sesuai kebutuhan kegiatan mereka. 

Terlampir di sini ketika kami bertiga ambil gambar bersama sebelum jalan-jalan ke beberapa titik di Kota Bandung pada suatu pagi. 

Kami bertiga menjelang jalan-jalan


Kedatangan

Fast Forward mode. Pada suatu hari di April 2017, saya mendapat pesan dari WA, ternyata Laeli memberitahukan bahwa dia akan kembali ke Bandung lagi untuk tugas belajar selama 3 bulan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, d.h IKIP Bandung). Kali ini dia akan datang bersama seorang teman dari NTB juga namun berbeda pulau. Mereka akan datang tepat sehari sebelum tugas belajar mereka dimulai, lewat udara. Maka, saya siapkan waktu untuk menjemput mereka di Bandara Husein Sastranegara.

Sebenarnya Mama sudah mengizinkan bila Laeli dan temannya tsb jika ingin tinggal bersama kami lagi selama menjalani tugas belajar tsb, namun ternyata Laeli memilih mencari tempat kos yang lokasinya dekat dengan UPI agar tidak makan waktu banyak di perjalanan. Ya, karena jarak rumah saya ke UPI pergi-pulang meski sebenarnya tidak jauh, namun arus lalu lintasnya ramai bahkan sering macet, terutama di akhir pekan, karena lokasi UPI itu termasuk wilayah Bandung Utara, jalurnya ke tempat-tempat wisata. Akhirnya waktu untuk Laeli dan kawannya tiba di Bandung diinformasikan dan saya bersiap jemput mereka.

Ternyata, waktu mereka mepet sekali. Mereka tiba di Bandung tepat sehari saja sebelum tugas belajar mereka dimulai, nyaris tak ada waktu untuk "bernapas". Itupun pakai acara penerbangan delay segala, akhirnya mereka tiba waktu sudah lewat maghrib. Saya datang menjemput mereka bersama Edwin, keponakan saya yang pasti bisa diandalkan untuk bawa barang-barang berat.

Laeli yang pertama kali melihat saya ketika saya mengarahkan mobil menuju bagian kedatangan di lokasi bandara. Dan ketika saya melihat sendiri besarnya koper yang dibawa Laeli, spontan saya bilang, "Laeli, kamu bawa koper macam begitu, kayak kamu mau pindah kampung aja!"

Kopernya memang besar, sih. Belum lagi, alamak! Laeli membawa tentengan barang-barang lain, buah tangan termasuk sayuran kangkung Lombok yang ukurannya juga jumbo. Kelak kangkung umbonya yang banyak itu dibagi-bagi ke tetangga dan ke teman keluarga kami, setelah kami sendiri ambil secukupnya. Aduh, Laeli, adik saya yang satu ini, bener, deh, luar biasa, bikin kami tepok jidat! Sudah jauh hari saya dan Mama sampaikan padanya, tidak perlu merepotkan diri membawa buah tangan untuk kami, cukuplah Laeli tiba di kota kami dengan selamat dan sehat, karena kami senang bisa jumpa lagi dengannya dan terutama, karena Laeli tidak melupakan kami.

Kami bergegas menuju rumah saya karena Laeli dan kawannya itu harus persiapan betul untuk esok harinya ke kamus UPI tak banyak waktu lagi. Tiba di rumah, diputuskan bahwa malam itu mereka harus nginap di rumah kami dan Intan serta Lalei setuju bahwa koper-koper mereka ditinggal dulu, saat mereka ke kampus untuk acara pembukaan tugas belajarnya. Mereka menuju kampus UPI akan naik taksi, dan kebetulan satu merek taksi kota saya punya pool di belakang rumah saya. Maka mereka akan naik taksi itu untuk menuju kampus UPI. Cukup tinggal tunjukkan satu jari, maka segera seorang supir, taksi siap. Ya, karena banyak armada taksi yang parkir berjajar di depan sepanjang tembok rumah saya setiap pagi hari.

Teman yang dibawa Laeli, dikenalkan namanya Intan, asal Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa. Intan ini perawakannya kecil, langsing dan ternyata wajahnya banyak "bintang" alias banyak jerawat. Sejujurnya, ketika Intan dipertemukan dengan Mama saat kami semua tiba di rumah saya, Mama sempat trenyuh padanya. Apalagi ternyata Intan ini termasuk punya masalah, susah makan! Segera saja di benak saya terlintas jurus-jurus untuk "memperbaiki" Intan yang kelak akan memiliki tampilan wajahnya yang berubah sekali, setelah dia selesaikan tugas belajarnya.


Esok harinya mereka berdua bergegas berangkat ke kampus UPI dan sorenya, kembali ke rumah kami untuk ambil koper, pindah ke tempat kos. Saya bersama Edwin lagi, mengantarkan mereka dan ketika tiba di tempat kos, duh, situasi kosnya sebenarnya memprihatinkan. Sempit, harus naik-turung tangga dan lembab, kamarnya di paling ujung pula, namun baik Laeli dan Intan bisa menerimanya, karena lokasi kosnya memudahkan mereka untuk mencapai UPI dan lagipula fasilitasnya masih jauh lebih baik daripada tempat-tempat kos teman-teman mereka yang kabarnya malah dapat kosongan, alias kamar saja tanpa ada kasur, meja, apalagi lemari untuk baju bahkan kamar mandi dalam.

Inilah gambar yang mereka kirimkan dari kelas mereka, setelah mereka tinggal di tempat kos.


Selama masa 3 bulan mereka tugas belajar, ada beberapa kali Laeli sendiri atau Laeli bersama Intan mengunjungi kami dan menginap semalam di waktu akhir pekan. Saya sempat mengajari mereka naik angkot, naik bus kota, karena mereka harus bisa ke mana-mana sendiri menggunakan transdportasi umum yang ada. Bahkan Laeli lebih hebat lagi. Di suatu akhir pekan panjang karena ada hari libur nasional, dia pergi sendiri ke Semarang mengunjungi adiknya, dengan transportasi bus AKAP yang berangkat malam hari, karena sudah tidak kebagian tiket kereta api Bandung - Semarang pp. Intan yang awalnya mau ikut ke Semarang, membatalkan rencananya dan memilih pergi bersama kawan-lawan sekelasnya. Di suatu akhir pekan bahkan Intan menjajal kereta api lokal bersama kawan-lawannya tsb ke Sumedang. Baguslah untuk Intan bisa merasakan moda transportasi yang tidak ada di kota asalnya, yaitu kereta api.

Di masa akhir waktu tugas belajar mereka, pas waktunya bulan puasa. Seminggu sebelum mereka selesai belajar, Laeli memberi kabar akan menginap lagi di rumah kami,  tapi kali ini Intan akan memberi kejutan. Ketika tiba di rumah kami,  Intan memperlihatkan wajahnya yang  sudah bersih dari jerawat membandelnya. Ternyata itu bisa terjadi karena Intan mau menuruti saran kami, agar  rutin minum yoghurt setiap hari. Saya ingat betul, ketika pertama kali Intan di rumah kami, dia emoh minum yoghurt sampai akhirnya mau dibujuk dengan yoghurt rasa Anggur. Rupanya alasan Intan emoh minum yoghurt adalah rasa yoghurt yang kecut, tapi begitu dia mencicipi yoghurt rasa anggur yang kami berikan padanya, barulah dia menyukainya dan mau rutin minum.

Ada dua malam mereka menginap di rumah kami, sepekan menjelang selesainya tugas belajar mereka, dan mereka sempat silaturahmi dengan tetangga seberang rumah kami, yang membuat tajil untuk buka puasa. Mereka berdua suka sekali menyantap Karedok setelah selesai sholat maghrib selepas buka puasa. Laeli malah suka sekali dengan Bubur Sumsum sampai setiap kali buka puasa, dia beli menu itu.

Di waktu menginap dua malaml ini, Intan yang sudah dapat kepastian akan terbang pulang dari Jakarta, belajar untuk membeli tiket kereta api rute Bandung - Jakarta dari sebuah minimarket dekat rumah.


Kepulangan Mereka

Tibalah hari ketika mereka benar-benar mengakhiri tugas belajarnya. Waktu sangat mepet bagi mereka terutama bagi Intan. Suatu Minggu siang saya jemput mereka dari tempat kos, busyet! Barang yang haruis diangkut banyak sekali, ibarat sudah tinggal selama bertahun-tahun. Belum lagi saya mesti membawa mobil dengan agak ngebut dan mencari jalan-jalan alternatif menuju ke rumah yang lebih bebas dari macet, karena sore harinya Intan harus sudah berada di Stasiun Bandung. Terima kasih dengan adanya Google map GPS,  jadilah kami ambil rute  yang memutar ke arah luar kota Bandung untuk menuju ke rumah saya walau jauh namun arus lalu lintasnya lancar, sehingga ketika tiba di rumah, bahkan masih sangat cukup waktu untuk Intan dan Laeli beli tajil untuk terakhir kalinya ke si tetangga seberang, makan dulu karena mereka berdua sedang tidak bisa berpuasa saat itu, bebenah barang-barangnya dan bahkan sempat ambil gambar terakhir sebelum menuju ke Stasiun Bandung. Hal itu tak akan mungkin terjadi bila kami ambil rute lewat kota yang lebih pendek jaraknya, karena melalui Google map GPS banyak ruas jalan yang sudah berwarna merah gelap, tanda kemacetan ada di situ.

Bergambar bersama Mama dan kakak saya untuk terakhir kali sebelum Intan ke Stasiun


Intan, sebelum boarding ke kereta


Tibalah di Stasiun Kereta Bandung dan hal yang saya duga terjadi. PT KAI  mempercepat keberangkatan 10 menit dari yang seharusnya Pk 16.10. Untung saja kebiasaan saya dan keluarga untuk siap di stasiun minimal 45 menit sebelum jadwal keberangkatan kereta membuat semua hal yang perlu bisa dilakukan sebelum Intan benar-benar harus masuk ke peron stasiun ketika kami para pengantarnya sudah tidak bisa lagi masuk. Mencetak boarding pass kereta, ambil uang di ATM sampai bergambar bersama dulu sebelum kami benar-benar berpisah dengan Intan. Sele[as bergambar ini, Intan check in untuk masuk peroan dan rasanya campur aduk antara senang dan sedih melihatnya berjalan menuju gerbong kereta. Senang karena Intan akan kembali ke keluarganya, sedih karena Intan pun sudah jadi bagian keluarga kami dan sekarang harus pergi dari kami.

Intan memang sudah pergi tapi dia masih menyisakan PR untuk kami, terutama untuk Laeli. Ada satu koli barangnya yang akan dikirimkan pakai ekspedisi, bersama 3 koli barang milik Laeli. Maka selepas mengantar Intan, kami pulang, dan tiba di rumah, Laeli jadi sibuk melakukan pengepakan barang-barangnya karena esok paginya Laeli akan terbang ke kotanya dari bandara Bandung. Pengepakan mesti sebaik mungkin agar ketika pengiriman oleh ekspedisi, tidak sampai terbuka di tengah jalan.

Malam itu juga setelah pengepakan selesai, Laeli minta agar si bapak petugas agen ekspedisi untuk ambil/jemput semua total 4 koli barang. Kami menggunakan ekspedisi anak perusahaan sebuah maskapai penerbangan nasional. Petugas agen ekspedisinya, masih tetangga saya dan mau menjemput kesemua barang yang akan dikirimkan. Maka barang-barang dijemput untuk dilakukan penimbangan dan pengukuran agar mendapatkan angka berat yang pasti. Entah berat karena massa barang atau bisa saja kena berat setelah dihitung volume kemasan barang. Sampai dua kali bolak-balik karena ternyata si petugas hanya pakai sepeda motor.

Setelah barang dijemput, saya menemani Laeli ke kantor agen ekspedisinya untuk menyelesaikan pembayaran biayanya, sekalian memastikan bagaimana pengemasaan oleh si agen. Bagi Laeli keberuntungan yang didapatnya karena lokasi agen ekspedisi dekat plus dapat harga khusus tetangga, yang diberikan si petugas agennya, karena harga khusus tsb semestinya kepada saya, sih, sebagai tetangga si bapak petugas. Semua barang termasuk milik Intan dikirimkan ke Mataram.

Urusan pengiriman selesai selepas Pk 22.00. Makanya jika para pembaca melihat wajah saya yang kurang segar di foto di bawah ini, ketika saya dan Laeli bergambar bersama di bandara, yah, itu efeknya. Foto itu dibuat menjelang pukul setengah enam pagi, sebab Laeli, saya,  Mama dan keponakan saya bangun di sebelum subuh untuk persiapan mengantar Laeli ke bandara. Walau jarak dari rumah saya ke bandara amat dekat, nggak sampai 3 KM, namun perlu ada saja kewaspadaan dan antisipasi dalam perjalanan.



Berfoto pada replika bus Bandros



Laeli akhirnya terbang pulang ke Mataram. Sempat berkirim kabar penerbangannya dialihkan ke Surabaya karena cuaca burut saat maui transit di Denpasar, akhirnya tiba dengan selamat di kampung halamannya.

Pada hari Idul Fitri, Intan dan Laeli masing-masing mengirimkan gambar bersama keluarga tercinta mereka selepas sholat Ied merayakan Idul Fitri. Paling mudah menemukan Intan di gambar yang dia kirimkan. Intan, yang wajahnya paling cling dan susah bebas dari jerawat, hehe. Dan bisa melihat kebahagiaan Laeli bisa berkumpul lagi bersama anak dan suami setelah 3 bulan tugas belajar.






Terima kasih adik-adikku Intan dan Laeli atas kesempatan saya beserta keluarga boleh dipercaya menjadi keluarga kalian. Bersyukur karena kita menjadi contoh langsung bahwa toleransi itu tak hanya sekedar baru ucapan, namun kita sudah buktikan dengan tindakan nyata. Salam hangat selalu dari kami di Bandung.

Tidka lupa, terima kasih kepada Angel, teman kita salah satu penulis Baltyra, karena mulanya melalui Angel, maka kisah kami ini bisa terekam di sini.


Cibeureum - Bandung, 11 Juli 2017


Linda Cheang

Sunday 23 April 2017

Diskusi Buku : Klenteng Gede Xie Tian Gong & Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung - di Museum KAA

Judul : Klenteng Xie Tian Gong 協天宮 (Hiap Thian Kiong, VIhara Satya Budhi) * Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung

Penulis : Sugiri Kustedja

Tahun Terbit : 2017

Penerbit : Bina Manggala Widya

Tebal : xvi + 300 halaman

ISBN : 975-602-18659-7-2



Diskusi Buku, Minggu, 19 Maret 2017

Memenuhi undangan dari teman-teman di Komunitas Jakatarub, plus ada teman di sana yang menjadi pembicara penanggap pada acara tsb, maka pada suatu Minggu yang cukup panas, bergegas saya ke Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) berharap tidak terlambat ke acaranya. Selain itu , saya datang juga karena ada pesanan dari teman di komunitas lainnya untuk membelikan dulu bukunya.

Kegiatan ini terlaksana karena kerja sama apik antara Komunitas Jakatarub dengan Centre for Chinese Diasporas Study (CCDS) Universitas Kristen Maranatha (UKM) Bandung dan tentunya MKAA yang memberikan tempatnya  untuk menjadi lokasi acara.



Tiba di pintu masuk MKAA, sudah ada meja untuk menjual buku tsb. Saya  beli bukunya dan karena saya membeli  lebih dari satu buku, terkesan sepertinya aku memborong bukunya, ditambah lagi, saya dimintai tolong lagi oleh teman lain dari komunitas yang lain lagi, yang kujumpai di dalam Ruang Pamer MKAA. Ternyata si teman itu tidak mengetahui jika ada penjualan buku. Ya, sudah, saya akhirnya macam benar-benar borong buku nyatanya!


Ternyata, acara diskusi bukunya molor dan karena saya belum tahu sampai kapan, maka saya gunakan kesempatan itu untuk "menodong" si penulis bukunya untuk memberikan otograf atas semua buku yang saya bawa. Tentu sebelumnya saya tuliskan nama-nama pada secarik kertas, agar si penulis buku tidak salah menuliskannya saat membubuhkan tanda tangannya. Penulis bukunya adalah Pak Sugiri yang menjadi narasumber ketika Komunitas Jakatarub mengadakan tur malam Tahun Baru Imlek beberapa waktu lalu.

Acara dimulai setelah terlambat sekian menit. Sedikit terganggu dengan si pembawa acaranya yang ternyata sangat tidak siap membuka acara, pada akhirnya si penulis bukulah yang benar-benar menyelamatkan acaranya.






Bingah, sebagai moderator acara dan Bapak Anton Sutandio dari UKM sedikit memberikan pemaparan mengenai kesannya setelah selesai membaca buku. Kesan mereka hampir sama, pada awalnya skeptis untuk membaca buku ini karena mengira akan menemukan istilah-istilah arsitek yang membingungkan dalam penulisannya. Ternyata mereka salah besar. 


Pak Sugiri Kustedja si penulis bukunya memang benar adalah seorang arsitek. Bahkan Beliau sudah mendapatkan gelar doktor untuk Arsitektur dari satu universitas swasta ternama di Kota Bandung. Namun ketika Bingah dan Pak Anton membaca buku ini, justru yang ditemukan adalah gaya penulisan yang bahkan memudahkan orang paling awam sekalipun untuk memahami. Selain itu ada penanggap pembicaranya Sonny Hermawan dari Jakatarub yang sedikit memaparkan mengenai kesannya sebagai keturunan  Tionghoa yang amat awam keterhubungannya dengan kelenteng yang juga disebut sebagai Vihara Satya Budhi tsb.

Pak Sugiri menjelaskan pada saat membuka paparannya, bahwa tujuan dibuatnya buku ini adalah sebagai buku panduan, karena sangat banyak masyuarakat yang datang ke Kelenteng Xie Tian Gong ini termasuk warga keturunan Tionghoa di Kota Bandung yang tidak banyak mengetahui sejarah dan tujuan kelenteng tsb didirikan, apalagi berkaitan dengan sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa sejak masa sebelum penjajahan Belanda. Apalagi di kelenteng tsb selain terdapat patung tuan rumah yaitu Guang Gong (Jendral Kwan Kong pada kisah Sam Kok alias Roman Tiga Negara), juga masih terdapat banyak simbol-simbol baik berupa ukiran, pahatan, sampai lukisan di dinding kelenteng. Termasuk pernah ada lukisan dari komik Sie Djin Kwie di dinding atas kelenteng sebelum akhirnya dihapus karena kabarnya keberadaan lukisan komik tsb membuat para pengurus kelenteng menjadi ribut selalu.


Selanjutnya berlangsung sesi diskusi dan tanya-jawab yang terpaksa harus dibatasi karena waktu yang diberikan untuk mengguakan ruangan juga menjelang jam tutupnya MKAA. Ada 10 peserta yang berpartisipasi, tak semuanya bertanya. Ada juga seorang ibu yang memberikan masukan kepada penulis mengenai kenangannya tentang Kelenteng Xie Tian Gong tsb. Di penutupan sesi, semua 10 peserta yang berpartisipasi tsb mendapatkan bingkisan kantung berisi memo dan mug dari sponsor acara.

Ada bagian yang menarik sebelum acara benar-benar berakhir. Ada Pak Sukandi minta izin untuk mmeberikan sedikit kata. Ternyata Beliau ini adalah keturunan kelima dari letnan Tionghoa Bandung kedua, Tan Haij Long. Saat penyampaian, Pak Sukandi tak hanya menyatakan terima kasihnya kepada penulis dan pihak CCDS atas dokumentasi tentang leluhurnya yang ikut disertakan di buku tentang kelenteng dalam bentuk lampiran, sehingga Beliau dan keluarganya akhirnya mendapatkan kisah sejarah lebih lengkap mengenai sang leluhur, juga menyatakan rasa malunya mengingat di dalam buku tsb si penulis buku juga menampilkan foto makam leluhurnya tsb dalam kondisi kurang terawat di Taman Pemakaman Khusus Cikadut, yang terkenal untuk memakamkan warga Bandung keturunan Tionghoa. Beliau berkata di jadapan semua peserta, akan segera mengurus makam leluhurnya tsb karena makam sang leluhur bisa dikategorikan sebagai bagian dari pelestarian budaya Kota Bandung


 Pak Sukandi, Keturunan ke-5 dari Letnan Tionghoa kota Bandung kedua 


Sebelum pulang, saya bersama seorang teman menyempatkan diri bergambar bersama penulis bukunya,  Pak Sukandi dan bersama Ibu Xiao Chao, seorang wartawati dari harian Guo Ji Ri Bao (國際日報) yang ternyata adalah teman Papa saya. Tentunya  tidak lupa, sesi foto bersama seluruh peserta yang masih ada di ruangan.








Resensi Bukunya menyusul.


Bandung, 23 April 2017