Friday 24 February 2017

Misa Hari Perkawinan Sedunia

Gereja St. Laurentius Sukajadi, Minggu, 19 Februari 2017 Pk 12.30

Aku tiba dengan terlambat gara-gara arus lalu lintas macet plus angkotnya sempat-sempatnya ngetem.

Ketika tiba, prosesi perarakan masuk sudah selesai dan imam selebran yang saat itu adalah Uskup Bandung, sudah menggoyangkan wiruk untuk mendupai altar. Aku juga gagal dapat tempat duduk di dalam gedung gerejanya karena terlambat tiba beberapa menit pun itu.


Akhirnya,  aku cari temat duduk di luar gedung dan bodohnya aku, kenapa nggak pilih kursi sedikit ke tengah saja agar bisa leluasa memandang ke dalam gedung dan bukannya hanya melihat TV.😅

Yah, segitupun masih bisa melihat ke arah ambo ketika Si Bapak Uskup membawakan homilinya. Mana tahu  Beliau yang mulia, menyadari juga kehadiranku diam-diam ini. 😇



saat homili.







Dan selesai ibadah, tentu saja Si Bapak Uskupnya dikerubungi umat untuk bergambar bersama  ðŸ˜„


Aku paling suka foto yang ini. Sumringah! 



Sumber foto :

- Koleksi Pribadi
- Buletin Summa

Tuesday 14 February 2017

Anjangsana Ke Buka Rumah Uskup yang Berulangtahun

Selasa, 14 Februari 2017 kemarin, uskupnya Keuskupan Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, memperingati hari lahirnya di usia yang ke-49 tahun. Menurut informasi dari sumber yang memang amat bisa dipercaya, pada hari kelahirannya Uskup Bandung dipastikan mengadakan acara Buka Rumah, alias open house di kediamannya, rumah dinas Wisma Keuskupan Bandung.

Akupun mendapat konfirmasi tegas, acara Buka Rumah ini terbuka bagi siapa saja warga yang mau datang untuk memberi ucapan  selamat ulang tahun pada Bapa Uskup, sekalian silaturahmi. Maka setelah aku tanya lagi untuk konfirmasi, aku koordinasi dengan beberapa teman di komunitas Jakatarub, Komunitas Sasadu Netizen dan komunitas lainnya yang bverkaitan dengan lintas agama, untuk ikut datang dengan tujuan kenalan dan silaturahmi.

Selamat ulang tahun kepada Gembala Keuskupan Bandung, 'Paman' Mgr. Antonius S. Bunjamin. Tuhan memberkati pelayanan Anda senantiasa.

Inilah dokumentasinya :




Akhirnya aku bisa membuat Mama ketemu Si 'Paman'. 
Foto ini dari kamera HPku


 Seperti inilah penampakan kue ultahnya Monsinyur tahun ini

Kuria Keuskupan Bandung. Ki-Ka : Sekretaris Keuskupan, Vikaris Jendral (wakil uskup), Uskup Bandung dan Ekonom Keuskupan.
Si 'Paman' uskup yang berulang tahun, sumringahnya lebar


Foto-foto ini pinjam kameranya Pak Herman

 Bersama teman-teman dari GKI Kebonjati


 Temanku  dan maminya. Si mami senang sekali bisa bertemu langsung dengan Uskup 


 Seorang sesepuh Bandung, Ibu Teko

 Temanku yang lagi belajar Buddha Theravada, ikut datang menemui Monsi

 Beberapa teman dari Jakatarub, bergambar di ruang kerja Uskup 


ini sih, numpang wefie di rumah dinasnya uskup

 Wakil dari GKJ Bandung

 Ibu Ketuanya Komunitas Netizen bersama Uskup di depan rudinnya

Wakil dari Netizen, ini di ruang kerja


Bandung, 15 Februari 2017

Linda Cheang



Sumber foto :
- Koleksi pribadi
- Suherman Tjandra
- Devi Muthia
- Pdt. Firdaus T. Kurniawan
- Eko Dean Wchs
- Majalah Komunikasi


Tuesday 7 February 2017

Buku Stranger At Home : Gegar Budaya Ketika Pulang ke Tanah Air





















Penulis : Louisa Veronica dan Tessa Ayuningtyas Sugito

Tebal  : xx +202 

Tahun terbit : 2016

Penerbit : Fire Publisher 

Harga   : Rp90.000/- (2017)



Kedua penulis buku ini adalah warga Baltyra, maka saya khusus menuliskan ini juga untuk Baltyra. Tulisan ini isinya adalah kesan yang saya dapatkan dari hasil menikmati buku ini. Semoga berkenan.


Bagi para warga Indonesia yang pernah tinggal  sekian waktu lamanya di luar wilayah Indonesia lalu memutuskan kembali lagi ke Tanah Air, tentunya mengalami perasaan terasing, sampai berbenturan dengan kebiasaan yang berbeda sama sekali dengan kebiasaan lingkungan di luar Indonesia. Keadaan ini disebut sebagai culture shock alias gegar budaya.


Gegar budaya itulah juga dialami oleh Nonik dan Tessa (alias Sasayu), dua saudari bersepupuan ini, yang dituangkan ke dalam buku yang mereka tulis bersama. Melihat tulisan "gegar Budaya di Kampung Halaman" di tembok fesbuknya Nonik, saya bergegas membelinya, selain karena sayapun pernah mengalami juga hal gegar budaya ini setelah sekian tahun tinggal di luar Indonesia (walau secara bolak-balik, sih), alasan tepatnya adalah harga bukunya yang sengaja dibuat miring selama periode promosi  bagi 50 orang pertama. Jurus cari yang lebih murah saja dan mumpung isi dompet saya masih cukup untuk beli buku  :D


Setelah mengalami  sedikit kendala dalam pengiriman karena kurir yang kurang sigap, akhirnya buku ini tiba di tangan saya dan saya atur waktu untuk membaca secara bertahap, sebab harus bergiliran dengan baca buku-buku yang lainnya. Ternyata dalam buku ini pun ada Kata Pengantar yang dituliskan oleh Pendiri Baltyra ini, Suhu Joseph Chen, plus seorang penulis senior Baltyra, Pak Handoko Widagdo di bagian Kata Mereka. Warga Baltyra baiknya perlu punya buku ini. :D 

Sebenarnya waktu membaca buku ini memang tidak perlu lama-lama karena gaya penulisannya yang ringan dan enak, tidak membuat dahi berkerut, justru di beberapa bagian membuat saya ngakak. Sekiranya jika tidak harus diselingi kewajiban baca buku-buku lain, saya yakin buku ini bisa saya selesaikan bacanya dalam hitungan jam saja, bukan beberapa hari. 


Menarik ketika saya mulai membaca secara sekilas dulu, saya sudah bisa mengikuti alur kisah Nonik dan Tessa ketika bersiap menjalani kuliah di luar negeri. Nonik yang melanjutkan kuliah S-2 di Swiss dan Tessa yang setelah lulus SMA, lalu sepenuhnya kuliah di luar negeri untuk S-1 dan S-2. Kondisi yang benar-benar membuat saya jadi iri karena saya tak seberuntung mereka. Termasuk kehebohan mereka ketika pertama kalinya berangkat ke luar negeri lengkap dengan kisah super noraknya dan kerepotan orangtua yang mendorong si anak untuk ambil program bea siswanya.


Saya melanjutkan membaca secara serius dan menyelesaikannya, saya menemukan bahwa saya bisa menikmati cara mereka bercerita tentang pengalaman mereka selama berada di Swiss untuk Nonik dan di Belanda serta Finlandia untuk Tessa.  Saya jadi benar-benar ngerti kenapa Tessa suka disebut sebagai si tukang bakar restoran, dan Nonik yang harus terengah-engah bersama anggota kelompok yang lebih suka berbicara dengan bahasa ibu negara mereka yang kebetulan sama-sama bahasa Portugis walau dari negara berbeda. Tessa yang bisa menikmati nikmatnya uap panas sauna lalu langsung bergulingan pada salju yang dingin, sampai Si Mboknya Tessa salah paham, mungkin karena kurang tahu seperti apa rasanya negeri di wilayah kutub itu. Ada lagi juga kisahnya Tessa dengan teman senegara dengan cerita terasinya si teman yang agak berbau mistis,  benar-benar bikin saya ngakak sambil geleng-geleng kepala, dan Nonik yang bertutur pengalamannya seru ketika bekerja di dua restoran yang dimiliki dua wanita Tionghoa berhubungan keluarga, lengkap dengan segala kendala bahasa karena kedua nyonya Tionghoa kurang fasih berbahasa Prancis, dan Nonik juga ada kendala berbahasa Mandarin.  Kisah Nonik ketar-ketir  tinggal dengan uang mepet di sisa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, namun masih beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai au pair. 

Terima kasih buat Nonik dan Tessa yang bersedia berbagi kisah hidup mereka. Di bagian penuturan ketika mereka mengalami gegar budaya di kampung halaman, saya yakin bisa lebih seru lagi jika mereka berdua mau membuka beberapa detil hal ikhwal penyebab mereka mengalami gegar budaya. Sebab sejujurnya menurut saya, sebgaian besar isi buku dengan judul yang ditampilkan agak kurang klop. Bagian gegar budayanya masih kurang banyak diceritakan.  Saya sebenarnya tertarik dengan cerita Tessa ketika pulang kembali ke Si Mboknya yang tipe Asian Tiger Mom, satu dari sekian penyebab gegar budaya yang dialami. Sudah pasti banyak kisah menarik yang bisa dipaparkan di buku ini, dan pasti bisa juga dipahami oleh sesama anak-anak produk para Tiger Mom (termasuk saya). Saya juga bahkan kepingin bisa mendengar ceritanya Nonik ketika mendapati tidak nyambungnya komunikasi dan cara berpikirnya Nonik dengan kerabat dan orang sekitar setelah Nonik baru pulang dari Swiss. Pasti akan banyak kisah-kisah ajaib jika saja boleh dibagikan detilnya walau tidak harus ekstra detil. 


Maaf, ya, Nonik, Tessa. Ini hanya sedikit pendapat saya, harapkan kalian tidak berkecil hati karenanya. Saya mengalami juga situasi hellish with Asian Tiger mom dan nggak nyambungnya pola komunikasi dengan keluarga/kerabat/orang-orang sekitar, sampai saat ini. Namun, saya sepakat dengan Nonik dan Tessa untuk  menerima dan berdamai dengan situasi seperti itu.

Terlepas dari ditemukannya beberapa bagian yang harus dikoreksi dan saya sudah memberitahu Nonik akan hal itu, buku ini baik sekali dijadikan referensi  bagi siapa saja, terutama bagi warga Indonesia yang baru mau akan tinggal di luar wilayah Indonesia dalam waktu yang cukup lama, dalam bilangan tahun. Pengalaman Nonik dan Tessa bisa menjadi panduan guna mempersiapkan diri lebih baik lagi dan untuk mengambil keputusan yang lebih bijak. Tidak lupa juga kedua saudari sepupuan ini juga menceritakan pentingnya bersandar pada hadirat Tuhan yang ikut andil dalam setiap peristiwa hidup, tentunya bagi Anda yang percaya akan Tuhan. Kisah-kisah ketika Nonik sempat marah kepada Tuhan,  tentang Tessa yang sempat kurang dekat dengan Tuhan, namun Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka, boleh menjadi kesaksian yang menguatkan bagi kita semua, yang percaya adanya campur tangan Tuhan dalam setiap sendi kehidupan kita.


Buat Nonik dan Tessa, sei bravissima! Kiranya kita bisa ketemuan lagi, ya.


Bandung, 8 Februari 2017



Salam,


Linda Cheang